Menjadi seorang ibu yang baik bagi
anak-anakku merupakan sebuah impian yang telah terpatri sejak aku kecil.
Memimpikan menimang bayi mungil dan mengasuhnya dengan kedua tanganku sendiri
adalah situasi yang sangat membahagiakan. Memberikan pengasuhan yang baik agar
kelak anak-anakku tumbuh menjadi sosok yang membanggakan adalah sebuah
kehormatan yang ingin ku raih sebagai seorang ibu. Bukankah itu juga menjadi
impian sebagian besar ibu di dunia?!
Aku percaya dengan cinta anak-anakku
akan tumbuh menjadi pribadi yang kuat dan utuh. Dengan penerimaan, anak-anakku
akan tumbuh menjadi sosok yang dapat dipercaya dan berani berbeda dari orang
kebanyakan. Dengan kelembutan dan kasih sayang yang tulus, anak-anakku akan
menjadi manusia yang peduli terhadap orang lain dan tidak bersikap egois.
Guna mencapai impian tersebut
tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Dibutuhkan bekal ilmu yang luas
dan dalam serta kerjasama yang baik dengan pasangan selaku ayah dari
anak-anakku. Komunikasi adalah kuncinya, sedangkan keterbukaan menjadi salah
satu syarat mutlak keberhasilannya.
Sebagai seorang perempuan yang Allah
beri kesempatan untuk menuntut ilmu hingga jenjang magister, tentulah
menyisakan permasalahan tersendiri buatku. Sebagai seorang yang ‘berilmu’ tidak
bekerja adalah suatu keniscayaan. Selalu ada dorongan dari dalam diri untuk
mempraktekkan berbagai ilmu yang pernah ku dapatkan ketika masih sekolah dulu.
Meski bisa saja aku menerapkannya di rumah bersama dalam lingkungan keluarga,
namun mengaktualisasikan diri di lingkungan luar juga menjadi hal yang tidak
kalah pentingnya bagiku.
Setiap profesi memiliki jenjang
karir masing-masing. Di kantor, aku sudah merasakan menduduki jabatan dengan
jumlah anak buah yang hampir mencapai 50 orang. Di rumah sendiri, aku berperan
sebagai manajer keuangan sekaligus manajer urusan rumah tangga domestik. Bisa
dibilang jabatanku rangkap saat ini hehehehe. Kalau ditanya capek ya jelas
capek. Kalau ditanya puas, ya jelas belum terlalu puas karena aku tidak terlalu
all out dalam masing-masing bidang. Seringkali ketika berada di kantor yang
terlintas di benakku justru berbagai hal yang terjadi di rumah. Begitupun
sebaliknya, ketika berada di rumah aku justru seringkali memikirkan masalah di
kantor. Ada sesuatu yang perlu ‘diperbaiki’ dalam diriku yang bersumber dari
konflik internal. Kebingungan yang muncul ketika harus memilih antara cinta dan
cita.
Keluarga adalah cintaku. Keluarga
memiliki arti yang dalam buatku. Bersama keluarga, aku dapat merasakan
kebersamaan dan kasih sayang yang tulus dari buah hatiku. Suamiku juga tak
kalah sayang meski terkadang hubungan kami tidak selalu mulus tetapi hampir
semua permasalahan dapat kami diskusikan dengan baik dan terbuka apa adanya.
Kedua orangtuaku juga memberi andil besar dalam membantu pengasuhan putra
sulungku yang hampir menginjak usia 2 tahun. Kakak perempuanku dan anaknya juga
turut mewarnai hari-hariku. Aku bersyukur memiliki mereka semua di dalam
hidupku.
Sisi yang lain dari hidupku adalah
sisi diri pribadi sebagai seorang yang mengenyam pendidikan magister dan
bercita-cita menjadi seorang psikolog yang disegani oleh rekan-rekan kerja juga
memiliki klien yang tak berbatas. Mendapatkan penghargaan berkat keilmuan yang
ku miliki merupakan suatu hal yang memberi kepuasan tersendiri dalam hidupku.
Selain itu, hal tersebut juga memberi kebanggaan juga bagi kedua orangtuaku
terutama mama.
Tibalah saatnya ketika aku sampai di
perbatasan. Ketika tiba saatnya harus memilih antara cinta dan cita. Saatnya
untuk memilih antara keluarga atau pekerjaan. Bukan suatu hal yang mudah tetapi
tidak pula terlalu sulit karena sesungguhnya jawabannya sudah ku ketahui ada di
lubuk hati yang terdalam.
Aku rasa 2 tahun bekerja full time
adalah lebih dari cukup. Sekarang sudah saatnya memberi waktu bagi diriku
sendiri untuk mengabdikan diri di keluarga sebagai seorang istri dan juga
seorang ibu. Suami dan anakku berhak untuk mendapatkan porsi waktu yang lebih
besar dari porsi yang selama ini ku beri. They deserve more. They really do J.
Pekerjaan akan datang jika memang
sudah waktunya. Uang bisa dicari jika aku berusaha. Tetapi waktu kebersamaan
dengan keluarga tidak dapat ku beli dengan harga yang murah. Aku harus
mengenyampingkan idealisme semu yang hanya condong pada hal yang bersifat
duniawi dan melupakan sisi ukhrowi. Menjadi ibu adalah kodratku sebagai seorang
perempuan. Ya Rabbi,…teguhkanlah hati ini dalam menetapkan pilihan ini.
22 Mei 2012
-rf-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar