Minggu, 05 Juli 2009

GARUDA VS KING





Rupa-rupanya film nasional bertemakan anak tengah menggeliat belakangan ini. Mungkin selain untuk menumbuhkan nasionalisme juga dalam rangka mengisi liburan juga kali ya?! Tak tahu pastilah apa alasan sebenarnya yang penting aku sudah menonton keduanya,dengan cara yang tidak direncanakan sebelumnya.

Film pertama berjudul GARUDA DI DADAKU. Film ini mengangkat tema sepakbola nasional, ceritanya tentang seorang anak yang bermimpi ingin menjadi pemain sepakbola nasional dan mengharumkan nama bangsa di kancah dunia. Alkisah hiduplah seorang anak bernama Bayu (Emir Mahira) yang memiliki bakat handal dalam menggocek bola. Bayu sangat mengidolakan Bambang Pamungkas, striker timnas Indonesia, dan Bayu ingin sekali dapat menjadi bagian dari timnas dan mengenakan seragam dengan lambang garuda di dada sebelah kiri. Namun sayang seribu sayang, keinginan Bayu ini tidak mendapatkan dukungan dari kakeknya yang sangat membenci sepak bola. Ibu Bayu (diperankan oleh Maudy Koesnaedi) hanyalah seorang janda yang harus bekerja banting tulang demi menghidupi keluarga sehingga tidak terlalu memperhatikan bakat terpendam yang dimiliki oleh anak semata wayangnya tersebut.

Bayu memiliki seorang sahabat bernama Heri (Aldo Tansani) yang juga penggila bola. Namun Heri memiliki keterbatasan fisik sehingga harus duduk di kursi roda selama hidupnya, meski begitu Heri senantiasa berpartisipasi dalam kegiatan yang berhubungan dengan sepak bola bersama dengan Bayu. Hingga suatu hari mereka bertemu dengan seorang pelatih sepak bola pak Johan(Ari Sihasale) yang melihat bakat Bayu yang mampu menendang bola masuk ke dalam bus melalui kaca jendela tanpa perlu memecahkan kaca. Dan petualangan Bayu dalam meniti mimpi tuk lolos seleksi timnas U-13 pun dimulai.

Bersama dengan Heri juga Zahra (Marsha Aruan) seorang gadis anak penjaga kuburan yang tanpa sengaja mereka temui ketika sedang mencari lokasi latihan untuk Bayu. Persahabatan di antara mereka pun terjalin dan bahu-membahu mereka berusaha keras membantu Bayu untuk mewujudkan mimpinya lolos menjadi bagian dari timnas U-13. Puncaknya adalah ketika kakek Bayu yang sangat membenci sepak bola mengetahui bahwa cucu kesayangannya berada di sekolah bola dan bukannya di sanggar lukis seperti keinginannya.

Secara umum, film ini cukup menghibur dan memberi pelajaran bagi penontonnya. Namun dialog yang terlalu filosofis rasanya kurang tepat dan jarang bisa ditemui pada anak usia 12 tahun. Ada beberapa dialog yang terlalu 'berat' dan membuat film ini jadi terasa hambar. Tapi cukup menariklah untuk ditonton aksi dribble Emir Mahira sebagai pemeran utaman Bayu yang dilakukan tanpa peran pengganti.



Film kedua masih bertema besar nasionalisme dan memotret dunia olah raga Indonesia adalah KING. Kisah seorang anak desa bernama Guntur (Rangga Raditya) yang memiliki kecintaan yang besar terhadap bulutangkis. Nama Guntur sendiri diberikan oleh sang ayah (Mamiek Prakoso) karena terinspirasi oleh salah satu legenda bulutangkis Indonesia Liem Swie King yang berganti nama menjadi Guntur. Guntur diharapkan dapat menjadi pemain bulutangkis yang hebat seperti idola ayahnya.

Guntur hanya tinggal bersama dengan ayahnya, karena sang ibu telah lama tiada. Ayah Guntur sangat keras dalam mendidik sehingga hal ini menimbulkan kesalahpahaman di antara mereka. Guntur merasa ayahnya hanya menuntut dan tidak memberikan perhatian sebagaimana layaknya seorang ayah kepada anaknya. Guntur kerap menerima hukuman berupa scout jump ataupun lari keliling hutan setiap kali kalah dalam pertandingan bulutangkis.

Guntur yang duduk di kelas 6 SD berteman dengan Raden (Lucky Martin) sahabat yang senantiasa menolong Guntur mewujudkan impian menjadi pebulutangkis hebat dengan berbagai ide konyolnya. Tak lama kemudian bergabunglah seorang gadis cilik sepantaran mereka yang baru saja pindah dari kota menambah warna dalam jalinan persahabatan di antara mereka. Hingga pada akhirnya Guntur berhasil menjalani seleksi dan lolos masuk ke sekolah bulutangkis di Kudus, tempat idolanya tersebut bernaung.

Film King menampilkan keindahan alam Indonesia yang belum banyak terjamah oleh tangan jahil manusia. Pegunungan serta hamparan padang rumput yang luas membuat mata para penonton terasa nyaman dan larut dalam cerita. Dialog yang ringan cukup menggambarkan kepolosan serta tingkah polah masa kanak-kanak akhir. Adegan pertandingan bulutangkis serta latihan keras selama seleksi terlihat begitu nyata seolah tanpa rekayasa. Konflik yang kerap terjadi pada single parent terhadap anak pun tersampaikan dengan baik sehingga bisa memberi pelajaran bagi para penonton.

Kalau harus memilih mana di antara kedua film ini yang lebih baik maka aku akan memilih film kedua, yaitu KING. Selain karena dialog yang tidak menggurui dan sesuai dengan anak usia 12 tahun, pemandangan alam yang indah turut memberi andil dalam memberi keunggulan film ini dibandingkan GARUDA DI DADAKU yang berlatar kehidupan kota Jakarta yang padat. Tapi ini semua hanya pendapat subyektif saja jadi sangat mungkin berbeda dengan orang lain.


malam senin,
Juli hari ke-5, tahun 2009


-rf-

2 komentar:

Rijal mengatakan...

Sebuah Pesan, Sebuah Nasehat.

Tak heran bila kini banyak orang melirik film sebagai ajang mencari pelajaran dalam hidup, karena film memiliki cara lebih elegan untuk mengungkapkan suatu pendapat. Meskipun film tetaplah sebuah tontonan yang dikemas sedemikian rupa untuk mendapatkan sejumlah keuntungan, tapi film dalam dimensi ideal tetaplah sebuah pesan, sebuah ide, yang coba diketengahkan ketengah khalayak. Salah satunya film ini.

Ah saya rasanya belum pantas membicarakan hakikat film, karena keawaman yang begitu sangat. Namun sebuah pembelajaran yang dapat diambil dari sikap ayah "King". Jangan pernah salah memposisikan diri, bila disuatu tempat kita tidak dihargai, dianggap dan diapresiasi maka lebih baik pergi dari tempat itu, pindah ke lokasi yang memungkinkan kita memompa diri menjadi lebih baik.

fitri mengatakan...

Berat amat sih pake bicarain hakekat film segala nyaingin tasawuf aja :p

Sebagai penikmat film biasa, sah-sah aja kok kalo mo komentar kan setiap orang pasti punya sudut pandang masing-masing dalam melihat sesuatu.

Oia, thanks 4 ur comment :-)