Jumat, 24 April 2009

'LABEL'

Beberapa hari yang lalu aku mendapatkan kabar yang tidak mengenakkan tentang salah seorang sahabatku. Sebuah kabar yang menyentak dan terasa sangat mengganggu pikiranku. Jadi begini ceritanya....ada seseorang berinisial I bertanya pada temanku: "...dapet apa aja dari....-nama perusahaan-?" dengan nada merendahkan -ini menurut prediksiku-. Lalu temanku menjawab: "Banyaklah...yang pasti dapat banyak pelajaran dan pengalaman". Ternyata I tidak berhenti sampai di situ, dia lalu bertanya lagi dengan nada yang kurang lebih sama: "Si R apa kabar? masih liberal dia?" .........whuaaaaah....ketika mendengar cerita ini kontak emosiku tersulut. Bukan apa-apa, aku sangat merasa terganggu dengan 'label' liberal yang dengan seenaknya ditujukan kepada orang yang aku tahu benar tidak berpandangan seperti itu. Ini adalah sebuah berita buruk malah bisa dibilang sebagai fitnah yang kejam. Seseorang yang hampir tidak pernah berinteraksi dengan orang yang bersangkutan lantas dengan serta merta tanpa pertimbangan yang logis dan minim pengetahuan mengenai orang yang diberi 'label' berani mengeluarkan pernyataan semacam itu sungguh merupakan suatu tindakan yang gegabah sekaligus teledor.
Pemberian 'label' pada seseorang akan berdampak pada pencitraan orang tersebut. Jika 'label' itu positif maka citra yang ditimbulkan akan menjadi positif pula. Sebaliknya, jika 'label' negatif yang diberikan maka secara otomatis akan menjadi negatif pula citra orang tersebut di hadapan orang lainnya. Jika saja pemberian 'label' tersebut diberikan secara obyektif dengan melalui proses pengumpulan informasi yang jujur dan imbang terhadap orang tersebut maka hal tersebut tidak akan menjadi suatu masalah. Yang berbahaya adalah ketika pemberian 'label' tersebut diberikan dengan hanya berlandaskan emosi dan pemikiran yang picik maka tentu saja ini akan sangat merugikan.
Dengan melihat kasus tersebut di atas aku sampai pada satu kesimpulan bahwa mereka yang dengan mudahnya memberi 'label' pada orang lain tanpa pertimbangan matang terlebih dahulu sesungguhnya adalah orang-orang yang patut dipertanyakan kapabilitas intelektualnya. Jika hanya berkutat dan bergumul pada lingkungan yang homogen tanpa pernah berani bersinggungan dengan dunia luar yang lebih heterogen maka isi pikirannya pun bersifat 'dangkal'. Sangat disayangkan sikap semacam ini tumbuh subur di kalangan yang konon katanya adalah kalangan akademisi yang menjunjung tinggi keilmuan dan obyektifitas.
Semoga saja Allah swt memberi kesabaran bagi sahabatku dan membukakan pikiran orang tersebut agar tidak mengulangi lagi perbuatan yang dapat merugikan orang lain.


Wallahu'alam bisshowab....



Bekasi cerah,
25 April 2009


-rf-

2 komentar:

Rijal mengatakan...

Labelisasi merupakan salah satu usaha pengidentifikasiaan seseorang dalam suatu masyarakat yang terbiasa hidup secara komunal. Proses identifikasi ini sangat lazim terjadi sebagai pengetahuan dasar atas klasifikasi bahwa si A berasal dari kelompok kami, dan B adalah “the other”. Mengenai kriteria yang digunakan pun biasanya berdasarkan pada nilai-nilai tradisional, yang diterapkan secara alamiah, dan terwarisi dari generasi ke generasi, serta belaku umum.

Kita tidak bisa menuntut banyak akan adanya obyektifikasi atas klasifikasi yang terbentuk untuk menjudge seseorang apakah termasuk komunal A atau B. Sebab, proses pengklasifikasian cenderung sangat patrialis. Tergantung pada keputusan sang pemimpin. Karena dalam nilai dasar masyarakat komunal, kepemimpinan masih dalam konteks dan konsep kharisma.

Dalam konsep kepemimpinan kharisma, diterangkan oleh Max Weber, segala keputusan mengenai proses hidup masyarakat komunal sangat tergantung pada karakteristik individu sang pemimpin tersebut.

Di banyak sejarah, proses identifikasi ini memiliki banyak tujuan, salah satunya yang terpenting adalah keamanan. Masyarakat komunal cenderung bersikap defensif terhadap hidup mereka, dengan alasan bahwa ada sesuatu yang jahat di luar lingkungan mereka yang bisa mengganggu stabilitas kehidupan. Ancaman itu sendiri ada yang terbukti, tapi sering kali hanya dugaan yang dilebih-lebihkan. Ironisnya, dalam sejarah masyarakat komunal, sering terjadi konflik yang tidak perlu dengan korban jiwa yang sia-sia demi membela ketakutan yang tak pernah terjadi.

Identifikasi sendiri tak bisa dilepaskan dari pembahasan mengenai kekuatan dan kelemahan. Kekuatan berarti mereka memiliki cukup modal untuk menjadi pemenang. Dan kelemahan merupakan alamat dari kesengsaraan, kesia-siaan, kehinaan dan pecundang. Dan setiap komunal merasa memiliki kepentingan untuk mempertahankan martabatnya, yaitu untuk tetap dihormati. Demikian yang ditulis oleh Ibnu Khaldun, dalam Al-Muqaddimahnya.

Tapi persoalannya kini, apakah kekuatan itu dan apa pula kelemahan, sehingga banyak yang merasa perlu melindungi rasa takut mereka yang disebabkan dua faktor ini. Ya, seringkali kekuatan justru menjadi ketakutan saat sang yang terkuat ini mulai terjangkit megalomania. Dimana ia merasa sangat hebat sehingga merasa berhak menyatakan mereka yang diluar jangkauan kekuasaannya adalah sekelompok manusia hina dan sesat, sembari menyadari bahwa semakin tinggi kekuatannya maka semakin terlihat pula kelemahannya.

Sedangkan ketakutan karena kelemahan sangat mudah dicari penyebabnya. Pertama, ia merasa kelemahan adalah kehinaan sehingga tak bisa melakukan apapun. Kedua, ia tahu bahwa jika sewaktu-waktu ada pergeseran zaman yang berakibat pada penggusuran maka ia adalah yang pertama kali terkena proses ini. Ketiga, ia sendiri tidak tahu mengapa menjadi lemah dan kenapa pula harus merasa takut atas kelemahannya.

Ternyata, baik menjadi kuat atau lemah memiliki ketakutannya sendiri-sendiri. Dan ini menjadi pertanyaan yang mengusik, mengenai apakah ketakutan itu sendiri sehingga perlu ditakuti. Bila menyimak pernyataan entrepreneur Mario Teguh maka kita akan disuguhkan rasionalisasi rasa takut yang sederhana tapi cukup meyakinkan. Ia mengatakan, kita sangat mungkin menjadi takut karena ketakutan itu kita ciptakan sendiri dalam diri, dan itu bisa sangat mungkin disebabkan oleh ketidaksiapan kita atas perubahan yang terjadi yang melampaui kemampuan kita dalam merespon perubahan tersebut.

Artinya, kita sebetulnya sedang mencemaskan diri sendiri. Di tengah lingkungan yang berkembang sangat pesat, justru kita terkungkung dalam komunal sendiri yang masih menerapkan prinsip-prinsip konvensional berbungkus slogan-slogan usang. Atas nama pengabdian terhadap pemimpin, sejarah dan eksistensi kelompok kita masih tetap merasa bahwa bertahan dalam kejumudan tetap menjadi jawaban paling tepat. Bila sikap ini dipertahankan wajar bila segala hal yang ada di”luar” merupakan ancaman bagi kelangsungan komunal.

Lalu apakah ini berarti kita perlu menghilangkan komunal. Saya rasa itu tidak perlu, atau lebih tepatnya, tidak mungkin. Sebab manusia secara alamiah akan selalu mencari kesamaan-kesamaan yang ada di antara sekian juta hiruk-pikuk pergaulannya. Kesamaan-kesamaan ini akhirnya akan membentuk komunal. Dalam sosiologi lazim disebut kolektivisme.

Mungkin akan lebih bijak untuk kembali mengkonseptualisasikan apa tujuan dari komunalisme itu. Bukankah sebagai seorang muslim kita diwajibkan untuk senantiasa mempertanyakan amal baik apa yang sudah kita lakukan, dan bila komunal kita tidak menjadikan kita bisa lebih baik maka sudah sepatutnya kita berpikir jernih.

Tak perlu sungkan, kefanatikan kita atas komunal tak akan membawa kebaikan apapun. Bukankah sejarah sudah membuktikan bahwa sikap itu hanya membawa kemelaratan hidup, dengan selalu mengembangkan sifat pengecut, serba curiga, merasa terkucilkan dan menganggap dirinya masih yang terbaik di tengah segala keterpurukan.

Tulisan ini mungkin tidak menyelesaikan persoalan “labelisasi” yang sedang diprihatinkan oleh pemilik blog ini. Karena masih banyak lagi yang perlu didiskusikan untuk menuntaskan pembahasan, tapi setidaknya saya juga ingin berkontribusi kepada “sang tertuduh” agar hatinya tak mudah luluh. Tetaplah menjadi pemenang, atau setidaknya tetaplah bercita-cita menjadi pemenang. Sedangkan untuk ia yang telah menuduh, semoga ini hanya episode hidupnya yang buruk, dan kita semua berharap episode selanjutnya bisa lebih baik. Amin

RikaFitri mengatakan...

Saya setuju dengan pendapat Rijal bahwa pelabelan berawal dari rasa cemas, perasaan tidak aman serta merupakan sebuah tindakan defensif untuk melindungi diri dari "kekuatan luar" yang dirasa mengancam keberlangsungan hidup suatu komunitas.

Intinya saya menyarankan kepada siapa pun tuk membuka mata dan pikiran terhadap dunia luar. Kita tidak hidup sendiri dan masih banyak orang yang hidup di luar komunitas kita.

Wallahu'alam