Senin, 01 Oktober 2007

PEMBENTUKAN KONSEP DIRI PADA ANAK-ANAK JALANAN


Masa kanak-kanak merupakan masa yang memegang peranan penting dalam pembentukan kepribadian individu. Dalam beberapa tahun awal kehidupan inilah individu mulai memasukkan berbagai pengalaman yang mereka dapatkan ke dalam memori mereka. Memori yang mengandung berbagai data pengalaman selama rentang kehidupan masa kanak-kanak inilah yang nantinya akan digunakan oleh individu sebagai dasar pembentukan konsep diri yang akan terus melekat pada individu selama hidupnya.
Berbicara tentang konsep diri anak tentulah sudah pasti terkait dengan peran penting orang tua serta pengaruh lingkungan sekitar tempat anak tumbuh dan berkembang. Orang tua lah yang pertama kali memberikan pendidikan kepada anak. Ketika sudah mulai tumbuh dan berkembang, anak pun mulai berinteraksi dengan lingkungan luar keluarga. Dari hasil interaksi itulah anak akan mendapatkan pengalaman yang kemudian dijadikan sebagai rujukan dalam pembentukan konsep diri.
Berbicara tentang konsep diri anak jalanan tentulah tidak bisa disamakan dengan pemahaman konsep diri anak pada umumnya. Karena harus kita sadari bahwa anak jalanan memiliki latar belakang sosial ekonomi yang berbeda dengan anak lain pada umumnya. Kehidupan yang keras, keharusan untuk hidup mandiri, perhatian yang kurang dari orang tua, lingkungan tempat tinggal yang tidak kondusif, minimnya kesempatan mengecap pendidikan formal adalah sebagian kecil faktor yang mempengaruhi pembentukan konsep diri pada anak jalanan.
Tak heran jika pada akhirnya anak jalanan memiliki konsep diri yang negative terhadap diri mereka sendiri dan hal ini berkorelasi dengan rendahnya tingkat kepercayaan diri yang mereka miliki. Mungkin banyak yang tidak setuju dengan pendapat di atas tetapi kalau saja anda mengamati secara lebih jeli maka anda akan menemukan kebenaran itu di lapangan. Coba anda perhatikan anak-anak yang sedang mengamen di jalanan, dari luar mereka tampak cuek dan acuh terhadap lingkungan sekitar. Dengan lantang mereka bernyanyi di hadapan orang-orang yang tak mereka kenal, sehingga sekilas kita akan berpikir bahwa mereka memiliki kepercayaan diri yang tinggi. Padahal sesungguhnya tidaklah demikian, sikap cuek dan acuh mereka tampilkan sebagai wujud mekanisme pertahanan diri (self-defence mechanism) semata. Jika mereka dihadapkan dengan situasi di mana mereka harus bernyanyi di hadapan orang-orang yang mengenal dan menaruh kepedulian kepada mereka, maka respon awal yang akan mereka tunjukkan adalah sikap malu-malu. Artinya mereka tidak cukup percaya diri untuk menampilkan potensi yang ada pada diri mereka.
Sungguh amat disayangkan jika potensi yang ada di dalam diri anak-anak harus terpendam hanya karena pemahaman konsep diri yang salah. Menjadi tanggung jawab kitalah sebagai sesama muslim guna meluruskan pemahaman yang salah. Bukankah sesama muslim itu bersaudara[1], maka sudah sepatutnyalah saudara yang satu menolong saudaranya yang lain.
Untuk meluruskan pemahaman tentang konsep diri, maka seyogyanya kita harus mengetahui dulu apa yang dimaksud dengan konsep diri itu sendiri. Menurut J.P. Chaplin di dalam Kamus Lengkap Psikologi[2] mendefinisikan konsep diri (self-concept) sebagai evaluasi individu mengenai diri sendiri; penilaian mengenai diri sendiri oleh individu yang bersangkutan. Jadi yang menentukan negative atau positif konsep diri adalah individu itu sendiri.
Stephanie J. Hanrahan[3], seorang psikolog dari The Unniversity of Queensland Australia menyatakan bahwa konsep diri memiliki korelasi positif dengan tingkat kepuasan hidup individu. Hal ini berdasarkan atas penelitian yang dia lakukan terhadap anak-anak yatim-piatu dari kalangan masyarakat tidak mampu di Meksiko. Pada awal penelitian anak-anak ini diminta untuk menuliskan hal-hal yang bisa mereka kontrol, namun tak satu pun anak bisa menuliskan hal tersebut. Mereka merasa dengan keadaan status social-ekonomi yang rendah membuat mereka tak berdaya untuk mengubah keadaan diri mereka sendiri. Mereka tak cukup percaya diri untuk membuka diri dengan lingkungan di luar komunitas mereka, karena mereka memandang negative terhadap diri sendiri.
Hal ini memiliki kemiripan dengan situasi anak-anak jalanan dan kaum dhu’afa yang ada baik di Islamic Centre Bekasi mau pun di tol timur. Anak-anak pada umumnya memiliki konsep diri yang negative, merasa tak cukup berharga sehingga kurang ada keinginan untuk belajar dan mengubah keadaan hidup mereka. Mereka pasrah dengan label negative yang telah melekat pada diri mereka sebagai anak-anak miskin yang tidak berpendidikan dan tidak tahu sopan santun.
Di sinilah peran kita sebagai pihak yang menaruh kepedulian terhadap mereka untuk meluruskan pemahaman yang salah ini. Agar nantinya anak-anak memiliki konsep diri yang positif dengan begitu maka akan timbul semangat dalam diri anak untuk membuka diri terhadap lingkungan luar. Interaksi dengan lingkungan luar komunitas mereka secara otomatis akan meningkatkan kepercayaan diri dan keinginan untuk belajar pada diri anak. Sehingga nantinya akan membuat anak teguh dalam memegang prinsip hidup dan mengedepankan identitasnya sebagai seorang muslim dan tidak akan terpengaruh dengan hal-hal negative yang dapat menjerumuskan mereka ke dalam kemaksiatan.
Dalam mengembangkan konsep diri anak meliputi tiga dimensi utama, yaitu; dimensi fisik, dimensi social-emosional, dimensi intelektual[4].
Dimensi fisik
Konsep fisik diri melibatkan lebih dari sekedar mengetahui perbedaan tubuh antara Anda dengan saya. Termasuk di dalamnya menyadari satu pertanyaan sederhana namun sangat penting “Apakah aku ini laki-laki atau perempuan?”. Anak harus diberi pemahaman yang benar tentang perbedaan jenis kelamin agar nantinya anak dapat bertingkah laku sesuai dengan peran jenis kelamin. Lebih jauh lagi perlu adanya penekanan terhadap anak agar mensyukuri keadaan fisik mereka dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Karena ﷲ telah menciptakan manusia dengan sebaik-baik bentuk[5].
Dimensi social-emosional
Setiap anak memiliki bagian dari diri social, yaitu perasaan tentang apa yang benar dan apa yang salah, apa yang harus mereka lakukan untuk menunjukkan rasa hormat kepada orang lain, bagaimana cara bersikap adil. Kesemua hal itu akan menjadi dasar terbentuknya konsep moral pada diri anak.
Anak mempelajari semua hal di atas berdasarkan pengalaman yang mereka dapatkan dalam kehidupan yang mereka jalani sehari-hari. Baik pengalaman yang mereka dapat ketika berinteraksi dengan orang tua, guru, mentor, dan masyarakat di lingkungan mereka berada. Anak belajar berbagai istilah deskriptif seperti “baik” dan “buruk”, “sopan” atau “tidak sopan”,.
Pada akhirnya dimensi social dari konsep diri akan tumbuh dari kemampuan untuk mengendalikan emosi, mendapatkan apa yang diinginkan tanpa harus bereaksi berlebihan atau melangkahi batas.
Yang dimaksud dengan emosi di sini adalah wujud perasaan yang kuat, mempengaruhi rohani dan jasmani, menguasai individu, dan berlangsung singkat dan kuat[6]. Contoh emosi adalah marah, sedih, kecewa, dan berbagai wujud perasaan lainnya.
Yusuf al-uqshari[7], seorang pakar psikologi social menyatakan bahwa pribadi yang sukses dalam kehidupan adalah pribadi yang mampu menguasai dan mengontrol emosinya. Maka dari itu hendaknya pengendalian emosi telah diajarkan sedini mungkin. Dimulai sejak dari masa kanak-kanak agar nantinya anak tumbuh menjadi pribadi yang sukses dalam kehidupan karena memiliki pengendalian emosi yang baik.
Adapun jenis emosi yang paling sering timbul pada diri anak jalanan sepanjang pengamatan penulis adalah marah. Ketika marah maka anak akan meluapkan dalam bentuk tindakan agresif, baik verbal (caci-maki, sumpah-serapah) maupun non-verbal (menyerang orang lain dengan tujuan untuk menyakiti secara fisik). Di sinilah mentor dapat memainkan peran pentingnya untuk membantu anak dalam mengendalikan emosinya ketika mereka marah. Perlu adanya pemahaman kepada anak bahwa dalam kacamata Islam, orang yang kuat adalah orang yang mampu menahan marahnya. Sesuai dengan hadits rasulullah saw:
Abu Hurairah r.a. berkata: Sesungguhnya Rasulullah saw bersabda: Bukanlah orang yang kuat itu orang yang dapat membanting lawannya. Kekuatan seseorang itu bukan diukur dengan kekuatan, tetapi yang disebut orang kuat adalah orang yang dapat menahan hawa nafsunya pada waktu marah.” (HR Bukhari Muslim)[8]
Sebagai mentor, dalam berinteraksi dengan anak-anak jalanan maka yang harus dikedepankan adalah sikap kasih sayang[9] dan rasa empati yang kuat. Mentor harus memandang segala sesuatu yang berkaitan dengan anak-anak dari sudut pandang mereka. Mentor harus memposisikan dirinya berada di posisi anak-anak, agar nantinya mentor dapat menjalin komunikasi yang baik dengan mereka. Nantinya jika komunikasi telah terjalin maka akan mempermudah mentor dalam memberikan pemahaman yang benar menyangkut konsep diri.
Dimensi intelektual
Dimensi intelektual seringkali diidentikkan dengan keberhasilan akademis. Lantas bagaimana dengan anak-anak yang tidak sekolah? Bagaimana kita mengetahui dimensi intelektual mereka? Menurut Profesor George Bear dan Kathy Minke, peneliti terkemuka mengatakan bahwa semua itu hanyalah mitos. Dimensi intelektual anak tidak selamanya tercermin dari sudut pandang akademis saja. Kecerdasan anak dalam bertingkah laku sehari-hari merupakan indikator yang menunjukkan dimensi intelektual anak. Ketika anak mampu menyimak pembicaraan dengan baik, menurut kala diberi nasihat yang baik, mampu bersikap sopan saat berinteraksi dengan lingkungan, adalah beberapa jenis tingkah laku yang menunjukkan dimensi intelektual anak. Hendaknya tingkah laku positif anak ini bisa dipertahankan. Bagaimana caranya?
Dr. Roan (1980) di dalam bukunya TERAPI UNTUK MENGUBAH TINGKAH LAKU[10] mengutip teori Skinner (1938) pelopor Teori Operant Conditioning menyatakan bahwa untuk mempertahankan suatu jenis tingkah laku adapatif maka dapat dilakukan dengan cara pemberian reinforcement (penguat). Dalam kasus di atas maka jenis reinforcement yang paling mudah dan ringan adalah pemberian pujian kepada anak. Ketika anak memunculkan tingkah laku yang baik, maka berikanlah pujian seperti “Subhanallah, itu baru anak sholeh” meski hanya berbentuk sepenggal kalimat saja, namun hal itu dapat memberikan efek yang luar biasa kepada anak. Anak menjadi merasa dihargai dan diakui keberadaannya, selain itu anak pun jadi dapat membedakan mana tingkah laku yang baik dan mana tingkah laku yang tidak baik. Satu hal penting yang perlu diperhatikan bagi para mentor ketika memberikan pujian hendaklah sesuai dengan kadarnya, tidak berlebih-lebihan atau pun terkesan mengada-ada. Sebab memberikan pujian yang tidak sesuai dengan kenyataan justru akan menjadi bumerang pada akhirnya. Alih-alih mempertahankan tingkah laku yang baik malah akan menimbulkan efek negative bagi anak. Seperti perasaan terbebani oleh pujian yang berlebihan, merasa terhina dengan pujian yang tidak sesuai dengan kenyataan. Dan berbagai perasaan yang bermuara pada ketidaknyaman anak dalam berinteraksi dengan lingkugan sekitar –terutama para mentor. Jika hal ini sampai terjadi maka anak akan menarik diri dan tidak mau lagi belajar bersama para mentor. Tentulah hal ini penulis harapkan jangan sampai terjadi. Maka dari itulah penulis bermaksud untuk mengingatkan kembali agar para mentor lebih berhati-hati lagi dalam memberikan pujian kepada adik-adik binaan.

Membentuk konsep diri positif pada diri anak jalanan bukanlah merupakan suatu hal yang mudah. Memerlukan kerjasama dari semua pihak terkait, terutama kerjasama di antara para mentor itu sendiri. Dan perlu disadari bahwa hal ini merupakan suatu proses yang memakan waktu yang tidak sebentar. Untuk itulah dituntut perlunya kesabaran dan keistiqomahan hingga tercapai apa yang dicita-citakan selama ini. Yaitu anak jalanan yang memiliki konsep diri yang positif dengan tingkat kepercayaan diri yang tinggi sehingga memacu anak untuk mengembangkan segala potensi yang ada di dalam dirinya serta mengedepankan identitas dirinya sebagai seorang muslim sejati. Semua itu dapat tercapai dengan izin ﷲ SWT.
Wallahu a‘lam bis shawab

Bekasi, 4 Muharram 1427 H[11]RF
[1] QS. Al Hujurat : 10
[2] Chaplin, J.P. penterjemah: Dr. Kartini Kartono, Kamus Lengkap Psikologi, Rajawali Pers, Jakarta, 2005, hal:451
[3] www.athtleticinsight.com
[4] Kathy Hirsh-Pasek, Ph.D., Roberta M. Golinkoff, Ph.D. Einstein Never Used Flash Cards, Penerbit Kaifa, Bandung, 2005
[5] QS. At tiin : 4
[6] Drs. Supartono Widyosiswoyo, ILMU BUDAYA DASAR, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1996
[7] Yusuf al-uqshari, Menjadi Pribadi Yang Berpengaruh, Gema Insani Pers, Jakarta, 2005
[8] Abdul Ghoni Asykur, KUMPULAN HADITS-HADITS PILIHAN BUKHARI MUSLIM –Diambil dari Kitab DALILUL FAALIHIIN, Penerbit Husaini Bandung, 1992
[9] QS Al Fath : 29
[10] Roan, W.M, TERAPI untuk menubah TINGKAH LAKU, Edisi pertama, 1980
[11] Jum’at, 3 Februari 2006

Tidak ada komentar: