Kierkegaard
Soren Aabye Kierkegaard, demikianlah nama lengkap filsuf Denmark yang kemudian terkenal dengan singkatan S.K. Suatu hal yang khas pada filsuf ini ialah kegemarannya untuk menulis dengan berbagai nama samaran. S.K. memang mengalami suatu krisis perihal identitas dirinya sebagai anggota keluarga Kierkegaard.
S.K. dilahirkan pada tanggal 5 Mei 1813 dan meninggal pada tanggal 11 Nopember 1855; kedua peristiwa ini – dan hampir semua peristiwa-peristiwa penting yang terjadi dalam hidupnya – terjadi di Kopenhagen. Kierkegaard dalam usia dewasanya hanyalah berpindah-pindah kamar sewaan di Kopenhagen. Hidupnya yang berakhir ketika ia menjelang usia 43 tahun itu tidak memungkinkan ia mengalami masa kejayaannya sebagai filsuf.
S.K. dilahirkan sebagai anak bungsu dalam keluarga tujuh bersaudara. Ketika S.K. lahir keluarganya tergolong keluarga berada di masyarakat. Ayahnya sangat memperhatikan pendidikan anak-anaknya; terutama S.K. yang bungsu merupakan anak kesayangan karena kecerdasannya.
Michael Pedersen Kierkegaard memiliki hasrat yang kuat untuk mendidik S.K. sebagai persiapan untuk memasuki sekolah teologia. Dalam sejarah hidupnya ayahnya telah mengalami dua peristiwa traumatis yang sungguh-sungguh berbekas selama hidupnya. Pertama, ketika di waktu kecil ia pernah menghujat Tuhan akibat kemelaratan yang ia jalani. Kedua, penyelewengan yang dilakukannya dengan Anne Lund, istri keduanya hingga melahirkan ketujuh orang anaknya. Ketika hal ini akhirnya diceritakan kepada S.K., oleh S.K. hal ini ditonjolkan sebagai suatu peristiwa dalam hidupnya yang diibaratkan sebagai gempa yang dahsyat.
Bagi S.K. sendiri serentetan kematian anggota keluarganya merupakan sebab kemurungan yang mendalam dalam dirinya. Dari tujuh bersaudara, tinggal dua saja yaitu kakaknya Peter Christian, dan S.K. sendiri. Kemudian dalam diri S.K. timbullah suatu prasangka yang kuat bahwa kutukan Tuhan telah jatuh pada keluarganya. Kalau tidak mengapa maut terus-menerus mengejarnya.
S.K. menafsirkan kepahitan-kepahitan dalam kehidupan keluarganya, dan khususnya serentetan kematian yang terjadi di dalamnya, sebagai berlakunya hukum kutukan terhadap keluarga Kierkegaard. Dalam kebingungan yang hebat serta kemurungannya yang mendalam S.K. memutuskan untuk melupakannya dan S.K. pun mulai dikenal sebagai peminum dan pemabok.
Namun demikian S.K. tetap berusaha untuk tampil sebagai orang yang riang, atau setidak-tidaknya mampu menggembirakan orang lain, meskipun dalam hati ia tetap merintih dalam kesedihan yang tak kunjung hilang. Karena Tuhan pun baginya sudah runtuh bersamaan dengan gugurnya ayahnya sebagai lambang pujaannya; gugur sejak terjadinya gempa dahsyat dalam jiwanya akibat ungkapan rahasia ayahnya.
Dua tahun setelah ayahnya meninggal S.K. berhasil menyelesaikan ujiannya dalam Teologi (Juli 1840) dan tepat setahun kemudian tesisnya yang berjudul The Concept of Irony (Juli 1881) diterima pula sebagai pelengkap ujian teologinya yang berhasil ditempuh cum laude. Tiga orang yang besar pengaruhnya terhadap diri S.K. dan kemudian lagi-lagi mempengaruhi corak alam pikirannya: Michael Pedersen Kierkegaard, Paul Martin Moller dan Regina Olsen.
S.K. mulai melancarkan pendapatnya, bahwa hidup bukanlah sekedar sesuatu sebagaimana kita pikirkan, melainkan sebagaimana kita hayati. Makin mendalam peghayatan kita perihal kehidupan, makin bermaknalah kehidupan.
Manusia akan terus-menerus dihadapkan pada pilihan-pilihan. Akan tetapi pilihannya yang pertama haruslah diputuskan sejauh menyangkut apa yang baik dan apa yang buruk; kemudian ia harus mampu menempatkan diri di salah satu pihak, yang baik atau yang buruk. Baru kalau seseorang telah menetapkan apa yang baik dan apa yang buruk; baru setelah ia memilih tempat satu di antara keduanya, baru kemudianlah putusan-putusannya menjadi bermakna. Untuk memilih dan membuat keputusan itu manusia bebas; artinya, ia harus mampu mempertanggungjawabkan dirinya. Justru oleh kesediaan bertanggungjawab ini maka kebebasannya untuk memilih dan memutuskan menjadi bermakna pula.
Sejak penemuannya kembali, maka bagi S.K. Tuhan adalah suatu kedekatan baginya. Bagi S.K. agama harus dihayati sebagai suatu pengalaman subyektif. Juga dalam hubungan ini, S.K. menekankan bahwa yang menjadi soal bukanlah agama itu sendiri, melainkan bagaimana menjalani suatu eksistensi beragama.
S.K. menganggap sia-sia usaha orang yang ingin membuktikan ada tidaknya Tuhan. Jalan menuju Tuhan tidak mungkin ditempuh melalui logika yang abstrak, melainkan harus didasarkan pada penghayatan subyektif. Kedekatan dengan Tuhan adalah penghayatan eksistensial; Tuhan sebagai kebenaran yang dihayati adalah subyektif, adanya Tuhan adalah kepercayaan, dan kepercayaan terhadap Tuhan tidak bisa melalui pengobyektifan.
Salah satu di antara masalah-masalah yang menjadi pemikiran S.K. adalah menyangkut abad modern ini. dalam salah satu karyanya yang diberi judul The Present Age ia memperingatkan, bahwa umat manusia sedang menghadapi munculnya suatu zaman di mana proses penyamarataan akan terjadi. Dengan wawasan yang tajam sekali S.K. sudah menjangkau keadaan yang akan ditimbulkan oleh abad mesin dan teknologi; ia sudah meramalkan bahwa proses penyamarataan itu akan menyebabkan timbulnya frustrasi yang makin lama makin mendalam, oleh karena manusia dicengkeram olehnya.
Eksistensi bagi manusia adalah tugas. Dan salah satu yang menjadi pesannya ialah, bahwa eksistensi itu dijalani dengan kesejatian; artinya, janganlah tampil dengan kesemuan. Maka jelaslah bagi S.K. eksistensi harus dihayati sebagai sesuatu yang etis dan religius. Eksistensi yang sejati memungkinkan individu memilih dan mengambil keputusan serta bertindak atas tanggungjawabnya sendiri. Untuk itulah S.K. menganggap suyektivitas dan eksistensi sejati itu suatu tugas.
Publik bagi S.K. hanyalah suatu abstraksi, dan bukannya suatu realitas. Yang menyebabkan ‘publik’ itu menjadi berbahaya ialah karena seringkali apa yang ‘publik’ itu dianggap riil. S.K. mengingatkan kita pada kenyataan bahwa orang seringkali berusaha untuk diperhitungkan dengan jalan menggabungkan diri dalam kelompok-kelompok atau menggalang kekuatan dengan mengumpulkan tanda tangan. Ini suatu bukti bahwa orang-orang demikian itu tidak mampu untuk tampil sendiri secara berarti; mereka ini adalah orang-orang yang lemah.
Bagi S.K. kesamaan manusia hanyalah di hadapan Tuhan. Dalam naungan kasih Tuhan maka semua manusia adalah sama. S.K. yang tadinya memberontak keras terhadap Tuhan dan agama, setelah pulih kepercayaannya terhadap Tuhan, sungguh-sungguh kemudian tampil sebagai homo religius. Tuhan baginya adalah satu-satunya tempat untuk menyerah dengan segala kesejatian; juga dalam menyerahkan hidupnya. S.K. adalah filsuf yang pertama kalinya memberi arti yang khas pada perkataan eksistensi, serta segala gagasan-gagasan lainnya yang ditumbuhkan atas pengertian tersebut.
Nietzsche
Friederich Wilhelm Nietzsche dilahirkan di Rocken, Prusia, pada tanggal 15 Oktober 1884. Tanggal lahirnya bertepatan dengan tanggal lahirnya Friederich Wilhelm IV, raja Prusia yang dikagumi pada zamannya. Agaknya hari ulang tahunnya itulah satu-satunya kenangan masa kanak-kanak yang paling mesra bagi Nietzsche. Sebab selanjutnya ia terus-menerus hidup dalam kemalangan seorang yang lemah, sakitan, dan papa. Semenjak ayahnya meninggal, Nietzsche dirawat oleh ibunya dengan kehalusan dan kemanjaan. Salah satu kegemarannya adalah membaca buku. Sebagai seorang yang berasal dari keluarga pendeta, maka tidak mengherankan kalau Nietzsche paling tekun membaca Injil.
Sejak kecil ia suka menyendiri, dan dalam kesunyiannya itu ia membaca dan merenung. Nietzsche dikesankan sebagai seseorang yang pemalu dan tidak banyak bicara sehingga terkadang menimbulkan kesan yang lemah dan letih.
Pada usia delapan belas tahun ia kehilangan kepercayaannya terhadap Tuhan. Mengingat latar belakang keluarga dan pendidikannya maka peristiwa ini sepintas lalu tampaknya janggal; kita mudah menduga bahwa negasi terhadap Tuhan ini adalah serupa dengan gejala remaja yang bersifat sementara. Akan tetapi nyatanya, sejak saat itulah Nietzsche memulai petualangan dalam dunia filsafat.
Jika saja orang menafsirkan bahwa segala ungkapan Nietzsche yang dahsyat dan menjulang tinggi itu adalah kompensasi terhadap kenyataannya yang bersifat lemah dan hampir tak berdaya. Ada pula anggapan yang menganggap karya Nietzsche sebagai ungkapan kegilaannya. Ia memang dikenal mengidap paranoia dan waham kebesaran.
Ia menganggap bahwa dalam hidup ini yang kuatlah yang akan menang, maka kebajikan utama dalam kehidupan adalah kekuatan. Apa yang dinyatakan sebagai kebajikan utama dalam hidup haruslah kuat; sebaliknya segala yang lemah adalah buruk dan salah.
Dalam hubungan antar bangsa Nietzsche pun menolak adanya kesamaan hak. Kemanusiaan yang terdiri atas bangsa-bangsa harus dipimpin oleh bangsa yang agung; yang lemah harus menyerah, kalau tidak maka ia harus dikalahkan dengan jalan perang dan penaklukan.
Nietzsche yang telah kehilangan kepercayaannya terhadap Tuhan, yang telah memusnahkan Tuhan, rupa-rupanya telah menemukan Zarathustra sebagai gantinya. Jelaslah bahwa kegagalan Nietzsche dalam pergaulan dengan sesama manusia yang menyebabkan ia mengasingkan diri dari mereka telah membuat Nietzsche berhadapan dengan dirinya sendiri yang dijelmakan sebagai imago Zarathustra. Oleh karenanya dalam Zarathustra kita mendapatkan semacam monologi; yaitu suatu percakapan antara Nietzsche dengan dirinya sendiri.
Bagi Nietzsche, manusia harus mencipta tak henti-hentinya. Bagi Nietzsche, mencipta menjadi mungkin oleh karena tuhan-tuhan sudah mati, sudah lama sekali mati. Mereka saling mentertawakan diri sampai mati semuanya.
Demikianlah jalan pikiran Nietzsche mengenai matinya para tuhan. Dengan demikian itu maka terbukalah kesempatan bagi manusia untuk menjulangkan dirinya setinggi-tingginya, yaitu sebagai pencipta. Dengan matinya Tuhan,maka nista pula apa yang disebut dosa. Mencipta dan sekali lagi mencipta; itulah satu-satunya kebajikan bagi manusia.
Manusia tidak perlu beku dalam ketakutan dan kepercayaan terhadap apa yang diriwayatkan kepadanya. Ia harus berani, karena keberanian adalah kebajikan yang terunggul. Dalam pikiran Nietzsche jelaslah bahwa perang pun merupakan suatu keharusan, yaitu sebagai seleksi alam untuk menangnya serta berkuasanya mereka yang kuat. Bagi Nietzsche, kecintaan terhadap hidup tidak perlu berarti ketakutan terhadap mati. Bukankah semua orang harus mati?
Dan dalam kecintaan serta keberanian menempuh hidupnya, manusia sepatutnya tidak mengharapkan belas-kasihan orang lain. Sepanjang kita menjelajahi alam pikiran Nietzsche maka nyatalah betapa Nietzsche bertekad untuk membangun suatu moralitas baru, dan untuk ini Nietzsche tidak mengenal kekuatiran ataupun hambatan-hambatan. Moralitas yang hendak dibina Nietzsche adalah moralitas kejantanan yang ulung; tanpa gemetar sedikit pun Nietzsche mengumumkan bahwa “Tuhan sudah mati”.
Nietzsche bisa disebut nihilis, oleh karena ia lebih dahulu menihilkan segala nilai lama, mempersetankan segala nilai yang sudah mantap. Makin ia merasa tidak dimengerti orang, makin mejadi-jadi gejala paranoia dan megalomania padanya. Pada akhirnya hidupnya Nietzsche harus dirawat di rumah sakit jiwa. Ibunya meninggal tiga tahun mendahului Nietzsche, maka Nietzsche dirawat oleh saudaranya Elizabeth.
Pada usia yang tidak terlalu lanjut, pada tanggal 25 Agustus 1900, rajawali kaum filsuf ini menghembuskan nafasnya yang penghabisan, di Weimar, meninggalkan nama dan karya-karyanya yang sampai hari ini masih dapat dinikmati.
Berdyaev
Nicolas Alexandrovitch Berdyaev dilahirkan di Kiev pada tanggal 6 Maret 1874. Sejak kecil ia sudah dikenal sebagai seorang yang sensitive sekali serta cerdas dalam menanggapi persoalan-persoalan yang dihadapinya. Pengalamannya belajar di akademi militer ini merangsang Berdyaev untuk berpikir tentang suatu bentuk kehidupan yang diatur atas dasar regimentasi serta konformisme yang kaku.
Pada tahun 1894, sebagai mahasiswa ilmu hukum, Berdyaev menegaskan dirinya sebagai seorang marxis. Ia meninjau kembali seluruh ajaran Marx, dan ia sangat merasakan kelemahan-kelemahan materialisme sebagai ajaran yang dianjurkan oleh Marx. Dalam meninjau kembali Marxisme ini Berdyaev sangat dipengaruhi oleh tulisan-tulisan Ibsen dan Dostoyevski. Dostoyevski merupakan tokoh yang paling dikaguminya. Melalui tokoh-tokoh inilah Berdyaev menemukan keyakinannya bahwa suatu filsafat sosial tidak bisa dibangun atas pikiran-pikiran yang berdasarkan materialisme belaka.
Pada tahun 1903 ia pergi ke Jerman untuk mengikuti kuliah-kuliah Wilhelm Windelband di Universitas Heidelberg. Setahun kemudian ia kembali ke Rusia, menikah dengan Lydia Yudifona dan menetap di St. Petersburg. Pada tahun 1907 ia pindah ke Moskow dan menjadi anggota suatu perkumpulan filsafat yang religius.
Seluruh filsafat Berdyaev didasarkan pada antroposentrisme, dan atas dasar itu pula ia membangun filsafatnya yang dikenal sebagai eksistensialisme. Baginya manusialah yang menjadi masalah yang pertama dan terutama.
Manusia sebagai makhluk spiritual adalah kebebasan, sedangkan sebagai hasil ilmiahnya maka ia menghayati keharusan-keharusan. Kebebasan itu dibatasi oleh keharusan-keharusan tadi. Bagi Berdyaev yang menjadi soal ialah, bagaimana manusia menghayati eksistensinya dalam kebebasan. Bagaimana mengatasi paradoks yang dihayati manusia, agar ia mampu mencapai kebebasan eksistensi sebagai pribadi.
Kesejarahan akan tetap merupakan suatu arena di mana manusia menghayati eksistensinya sebagai suatu paradoks antara kebebasan dan keharusan yang mengikat. Berdyaev memperingatkan, bahwa individualisme tidak kurang berbahaya daripada kolektivisme. Individualisme hanyalah membawa manusia pada kecenderungan untuk menuju diri sendiri dan tidak menghiraukan kebebasan orang lain. Individualisme mengakibatkan kecenderungan untuk menjadikan diri sendiri sebagai ukuran segala sesuatu, termasuk ukuran-ukuran tentang kebenaran.
Sebaliknya, kolektivisme yang mengakibatkan hilangnya suatu pusat eksistensi pribadi. Kolektivisme menguatkan anonimitas, dan oleh karenanya tidak mampu menjadikan manusia menghayati dirinya sebagai eksistensi yang bebas. Berdyaev yang terkenal sebagai filsuf yang religius pun tidak mau melepaskan gagasannya tentang kebebasan pribadi itu sebagai dasar untuk penghayatan religius serta kepercayaannya terhadap Tuhan.
Berdyaev menyatakan bahwa Marxisme adalah akibat dari kegagalan agama Kristen. Pada tanggal 24 Maret 1948 Berdyaev meninggal dunia di ruang kerjanya, ketika sedang duduk di meja tulisnya.
Jaspers
Karl Jaspers dilahirkan pada tanggal 23 Februari 1883 di Oldenburg, Westphalia. Ayahnya, Karl Jaspers, seorang ahli hukum dan menjabat sebagai presiden direktur sebuah bank; sedangkan ibunya, Henriette Tantzen, berasal dari keluarga petani. Pada tahun 1910 ia menikah dengan Gertrude Mayer, putri keluarga Yahudi yang saleh.
Karl Jaspers mempunyai latar belakang pendidikan yang bermacam-macam; dan oleh karena latar belakang pendidikannya ini maka filsafatnya juga menunjukkan keluasan, yaitu meliputi berbagai bidang seperti psikologi, psikopatologi, politik, pengaruh teknologi terhadap manusia dan kemanusiaan, dan sejumlah bahasan-bahasan mengenai filsafat-filsafat masa sebelumnya.
Menurut Jaspers, perbedaan-perbedaan pandangan dunia itu menimbulkan juga perbedaan-perbedaan dalam pengamatan terhadap kenyataan dan penerimaan kebenaran, maka Jaspers menolak kemungkinan disusunnya suatu ontologi yang universal.
Jaspers sampai pada kesimpulan, bahwa makin sungguh-sungguh sadar seseorang tentang kebebasannya, makin kuat kepastiannya tentang adanya Tuhan. Bagi Jaspers maka Tuhan adalah sumber kebebasan, akan tetapi juga dalam kebebasan Tuhan dapat ditemui. Tuhan bagi Jaspers adalah suatu keterbukaan yang tak kunjung beku dalam penghayatan manusia.
Sebagai kenyataan manusia ada sebagai dua segi. Di satu pihak ia ada sebagai sesuatu fakta belaka, suatu Dasein, akan tetapi di lain pihak ia adalah eksistensi yang kongkrit dalam situasi ruang dan waktu.
Membayangkan suatu kebebasan yang terlepas sama sekali dari orang lain atau batasan-batasan lainnya tidak mungkin. Kebebasan yang menjadi kondisi untuk suatu eksistensi yang sejati haruslah dihayati bersama orang lain, oleh karena kesejatian eksistensial hanya terungkap dalam suatu komunikasi eksistensi pula, suatu hubungan intersubyektif dengan orang lain. Oleh karena itu Jaspers dengan tegas menolak mungkinnya kebebasan yang bersifat mutlak. Kebebasan mutlak adalah tidak mungkin.
Jaspers berpendapat oleh karena kita mengarahkan diri pada Transendensi itulah maka kebebasan bisa dihayati; bukan saja kebebasan, akan tetapi juga dengan Transendensi itulah maka manusia terhindar dari suatu eksistensi yang hampa dan tak bermakna. Jaspers menerima bahwa eksistensi berakar pada Transendensi, yaitu Tuhan. Akan tetapi Jaspers menentang obyektifikasi Tuhan, baik oleh pemikiran ilmu pengetahuan maupun oleh penyajian yang dogmatis dari gereja.
Jaspers meninggal di Basel pada tanggal 26 Februari 1969, setelah mencapai kedudukan yang mantap sebagai seorang filsuf dengan pandangan-pandangan serta pikiran-pikirannya sendiri.
Sartre
Jean-Paul Sartre dilahirkan di Paris pada tanggal 21 Juni 1905. Keluarganya tergolong kelas menengah; ayahnya penganut Katolik sedangkan ibunya seorang Protestan. Jean-Paul sejak kecil dikenal sebagai anak yang fisiknya lemah sekali dan sangat sensitive. Salah satu kegemarannya ialah menghabiskan waktunya dengan melamun dan berkhayal, suatu gejala yang lazim kita jumpai pada anak-anak yang lemah fisiknya dan tidak mampu menghadapi lingkungan teman-teman yang cenderung untuk menonjolkan kekuatan fisiknya.
Sartre sempat belajar kepada Husserl di Berlin, melalui Husserl lah Sartre mengenal metode fenomenologis. Suatu metode yang kemudian dikembangkan Sartre dalam filsafatnya tentang eksistensi.
Bagi Sartre, manusia mengada dengan kesadaran sebagai dirinya sendiri. Dengan perkataan lain, bagi manusia eksistensi adalah keterbukaan; berbeda dengan benda-benda yang lain di mana ada itu berarti sekaligus esensi, maka bagi manusia eksistensi mendahului esensi.
Tuhan tidak bisa dimintai tanggung jawab dan tidak bisa dijadikan tempat untuk menggantungkan tanggung jawab. Tuhan tidak terlibat dalam putusan yang diambil oleh manusia. Manusia adalah kebebasan, dan hanya sebagai kebebasan ia bisa bertanggungjawab.
Bagi Sartre, kebebasan itu mutlak; tanpa kebebasan eksistensi menjadi sesuatu yang absurd. Kebebasan itu melekat pada setiap tindakan manusia. Apa yang dilakukan manusia seharusnya diartikan sebagai ungkapan dari kebebasannya, sebab ia pun bisa memilih untuk bertindak lain.
Konsekuensi daripada kebebasan yang tak terbatas ini adalah tanggung jawab yang tanpa batas pula. Tanggung jawab yang dihayati tanpa batas ini pun merupakan beban eksistensial yang memuakkan.
Salah satu kekhususan dalam filsafat Sartre ialah betapa besarnya ia mencurahkan perhatian pada orang lain sebagai kenyataan. Nyata sekali dalam berbagai karya Sartre, betapa orang lain itu menduduki tempat yang paling penting dalam alam pikirannya. Nyata pula betapa pesimistis Sartre menanggapi orang lain itu sebagai kenyataan yang melekat pada eksistensi.
Eksistensi sebagai kebutuhan itu membawa kelanjutan, bahwa kita menghayati tubuh kita sebagai pusat dari dunia yang kita diami, yaitu kita diami dengan penghayatan ketubuhan tadi. Oleh karena itu maka ketubuhan itu pun menjadi suatu titik orientasi kita.
Sampai akhir hidupnya Sartre tidak pernah menegaskan sikapnya tentang Tuhan. Bagi Sartre ada atau tidak adanya Tuhan bukanlah masalah yang menyibukkan dirinya, karena ia hanya ingin memusatkan pemikirannya pada eksistensi manusia; dalam hubungan ini masalah ada atau tidak adanya Tuhan tidak memiliki relevansi. Eksistensi manusia adalah suatu kenyataan yang bukan dipilih sendiri oleh manusia; ia terdampar dalam kenyataan itu untuk selanjutnya menerima kenyataan itu sebagai fakta yang tak dapat dihindarinya. Ia menghadapi keharusan untuk mewujudkan diri pribadinya dalam keberadaannya di dunianya. Seperti juga awal kehadirannya sebagai eksistensi, maka juga akhir keberadaannya itu pada hakikatnya terletak di luar pilihannya sendiri.
Sartre hidup bersama tanpa menikah dengan filsuf wanita yang menjadi tenar oleh karyanya “The Second Lex” (Le Deuxieme Sexe), yaitu Simone de Beauvoir. Bertentangan dengan kelaziman yang berlaku, hubungan antara Sartre dan de Beauvoir sejak masa muda mereka di Universitas Sorbonne tidak pernah diresmikan sebagai hubungan suami-istri dengan cara ampun. Meskipun demikian, keduanya menjalin suatu kebersamaan yang utuh, hingga masa tuanya. Ketika Jean-Paul Sartre menjadi rabun penglihatannya, Simone seringkali membacakan hal-hal yang dianggap menjadi minatnya sebagai filsuf. Ketika pada tanggal 15 April 1980 Jean-Paul Sartre meninggal dunia; Simone-lah satu-satunya sahabat hidupnya yang setia membangun kebersamaan dengan raksasa eksistensialisme itu, tanpa ada di antara keduanya kehilangan kesejatiannya.
*Diringkas dari buku Prof. DR. Fuad Hasan, BERKENALAN DENGAN EKSISTENSIALISME Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya (1985)
1 komentar:
ulas tentang Nietzsche
u mahasiswa psi ya?
Posting Komentar