Jumat, 15 Februari 2008

Keindahan Persahabatan


Ketika hari terasa begitu melelahkan
Ketika hati bagaikan tercekam
Setitik embun menghapus segala gundah
Dalam setiap detik persuaan
Terjalin ikatan yang tautkan hati nan merindu
Sahabat selalu mampu tepiskan duka
Sahabat kan lukis indah di wajah nan sendu
Sahabat adalah tempat dimana ku percayakan rahasia hati
Keindahan persahabatan kan terukir indah dalam bingkai kerinduan yang mendalam
Luv u all my dearest friends............
-rf-

Senin, 11 Februari 2008

KETERLAMBATAN BICARA (SPEECH DELAY)

Created By: Rika Fitriyana
Kemampuan berbicara dapat membantu anak dalam memenuhi kebutuhannya. Bicara diartikan sebagai bentuk bahasa yang menggunakan artikulasi atau kata-kata yang digunakan untuk menyampaikan maksud. Selain itu bicara merupakan perilaku membuat suara dengan menggunakan organ tubuh seperti paru-paru, mulut, lidah, gigi, dsb.
Sebagai alat komunikasi maka bicara memainkan peranan penting bagi perkembangan anak. Dengan bicara anak dapat memuaskan kebutuhan dan keinginan serta sangat membantu dalam interaksi sosial yang dilakukannya. Ketika bicara mengalami keterlambatan maka hal ini akan mempengaruhi penyesuaian sosial dan pribadi anak.
 Pengertian Keterlambatan Bicara
Ketika anak tidak mampu berbicara seperti layaknya anak lain yang seumuran, maka anak ini dapat dikatakan mengalami keterlambatan bicara. Menurut Hurlock (2003) apabila tingkat perkembangan bicara berada di bawah tingkat kualitas perkembangan anak yang umurnya sama yang dapat diketahui dari ketepatan penggunaan kata, maka hubungan sosial anak akan terhambat sama halnya apabila keterampilan bermain mereka berada di bawah keterampilan teman sebayanya.
Secara umum, seorang anak dikategorikan mengalami keterlambatan bicara jika perkembangan bicaranya secara signifkan berada di bawah norma anak-anak yang seumuran dengannya. Anak dengan keterlambatan bicara memiliki perkembangan bahasa khas yang lebih muda dari usia kronologisnya; keterlambatan bicara anak mungkin saja terletak pada sekuen normal namun masih lebih lambat dari rata-rata. Untuk menentukan hal itu, maka harus memahami tahap perkembangan bahasa yang normal.
Anak dikategorikan mengalami keterlambatan bicara jika anak tidak mampu melakukan beberapa hal:
1. Mengucapkan kata yang sedehana secara jelas pada usia 12 s/d 15 bulan.
2. Memahami kata yang sederhana (seperti kata “tidak”, atau “jangan”) pada usia 18 bulan.
3. Berbicara dengan menggunakan kalimat pendek pada usia 3 tahun.
4. Menceritakan sebuah cerita singkat pada usia 4 s/d 5 tahun.
 Faktor - faktor Penyebab Keterlambatan Bicara
Secara etiologi keterlambatan bicara dianggap sebagai manifestasi dari berbagai gangguan, yaitu:
1. Retardasi mental menjadi penyebab keterlambatan bicara secara umum, terhitung lebih dari 50 % dalam kasus ini. Semakin tinggi tingkat retardasi mental anak maka semakin lambat dia dalam melakukan bicara yang komunikatif.
2. Kehilangan pendengaran pada usia awal perkembangan anak akan berdampak pada keterlambatan bicara.
3. Keterlambatan perkembangan disebabkan keterlambatan pada proses neurologis sentral yang dibutuhkan untuk melakukan perilaku bicara.. Kondisi ini biasanya terjadi pada anak laki-laki dengan latar belakang keluarga dengan sejarah keterlambatan. Prognosis anak semacam ini baik, biasanya mereka akan mengalami perkembangan bicara yang normal ketika memasuki sekolah.
4. Gangguan berbahasa ekspresif, anak dengan gangguan ini mengalami hambatan dalam perkembangan bahasa di usianya. Anak-anak ini memiliki tingkat inteligensi yang normal, pendengaran normal, hubungan emosional serta kemampuan artikulasi yang baik. Penyebab utama dari gangguan ini adalah disfungsi otak sehingga anak tidak mampu untuk menerjemahkan ide ke dalam ucapan. Anak biasanya menggunakan bahasa tubuh untuk membantu mereka dalam mengekspresikan kemampuan verbal mereka yang terbatas. Anak dengan keterlambatan bicara akan mampu berkembang sesuai dengan usianya, sementara anak dengan gangguan berbahasa ekspresif tidak akan mampu berkembang tanpa intervensi. Anak dengan gangguan berbahasa ekspresif cenderung berkembang menjadi dyslexia. Karena gangguan ini tidak dapat disembuhkan sendiri, maka diperlukan intervensi yang bersifat aktif.
5. Penggunaan dua bahasa di lingkungan rumah dapat menjadi penyebab temporal keterlambatan bicara dengan onset pada dua bahasa tersebut. Pemahaman bahasanya berada di bawah anak-anak normal seusianya, tapi biasanya ini dapat pulih sebelum usia lima tahun.
6. Deprivasi psikososial terdiri dari deprivasi fisik (kemiskinan, lingkungan yang kumuh, malnutrisi) dan deprivasi sosial (stimulasi linguistik inadekuat, ketidakhadiran orang tua, stres emosional, pengabaian) memberi dampak pada perkembangan bicara anak.
7. Autisme adalah gangguan perkembangan neurologist, onset muncul ketika anak belum mencapai usia 36 bulan. Karakteristik anak autis ditandai dengan keterlambatan dan deviasi perkembangan bahasa, kegagalan untuk mengembangkan kemampuan menjalin hubungan dengan orang lain serta perilaku kompulsif, termasuk stereotip aktivitas motorik yang berulang-ulang. Bicara anak autis lebih mirip bersenandung dan kurang jelas. Anak autis secara umum tidak mampu melakukan kontak mata, banyak tersenyum, sering merespon ingin dipeluk atau menggunakan bahasa tubuh untuk berkomunikasi dan perempuan. Autisme kebanyakan diderita oleh anak laki ketimbang anak perempuan.
8. Mutisme elektif adalah suatu kondisi dimana anak tidak dapat berbicara karena mereka memang tidak menginginkannya. Biasanya anak dengan kelainan ini hanya berbicara dengan keluarga serta teman-teman mereka saja, tapi mereka tidak berbicara ketika berada di sekolah, tempat umum, atau ketika berhadapan dengan orang asing. Kondisi ini lebih sering muncul pada anak perempuan dibandingkan pada anak laki-laki. Penyebab umumnya adalah psikopatologi keluarga dimana anak terlalu bergantung pada orang tua. Anak biasanya bersikap negatif terhadap lingkungan, pemalu, kaku, dan menarik diri. Gangguan ini bisa menetap selama berbulan-bulan atau bahkan bersifat menahun.
9. Aphasia reseptif adalah penurunan pemahaman bahasa yang diucapkan; kesulitan memproduksi kata dan keterlambatan bicara adalah konsekuensi dari ketidak mampuan ini. Anak yang mengalami aphasia reseptif biasanya memiliki bahasa tersendiri yang hanya dipahami oleh orang-orang yang terbiasa berinteraksi dengan mereka.
10. Cerebral palsy juga mengakibatkan anak mengalami keterlambatan bicara.
Banyak penyebab keterlambatan bicara, yang paling umum adalah rendahnya tingkat kecerdasan yang membuat anak tidak mungkin belajar berbicara sama baiknya seperti teman sebaya mereka yang kecerdasannya normal atau tinggi; kurng motivasi karena anak mengetahui bahwa mereka dapat berkomunikasi secara memadai dengan bentuk prabicara dorongan orang tua untuk terus menggunakan “bicara bayi” karena mereka mengira yang demikian “manis”; terbatasnya kesempatan praktek berbicara karena ketatnya batasan tentang seberapa banyak mereka diperkenankan bicara di rumah; terus menerus bergaul dengan saudara sekandung yang lebih muda atau saudara kembar yang dapat memahami ucapan khusus mereka dan penggunaan bahasa asing di rumah yang memperlambat bahasa ibu.
Salah satu penyebab yang tidak diragukan lagi paling umum dan paling serius adalah ketidakmampuan mendorong anak berbicara, bahkan pada saat anak mulai berceloteh, hal itu akan menghambat penggunaan kata-kata dan mereka akan terus tertinggal di belakang teman seusia mereka yang mendapat dorongan berbicara lebih banyak.
Kekurangan dorongan tersebut merupakan penyebab yang serius keterlambatan berbicara terlihat dari fakta bahwa apabila orang tua tidak hanya berbicara kepada anak mereka tetapi juga menggunakan variasi kata yang luas, kemampuan anak berbicara akan berkembang dengan cepat.
 Evaluasi Klinis
Latar belakang perkembangan anak memainkan peranan penting dalam mengevaluasi anak yang mengalami keterlambatan bicara. Dalam membuat diagnosa, latar belakang perkembangan anak yang tidak melakukan celoteh pada usia 12 sampai dengan 15 bulan, tidak memahami perintah sederhana pada usia 18 bulan, tidak berbicara meski usianya sudah mencapai 2 tahun, tidak mampu membuat kalimat pada usia 3 tahun, atau mengalami kesulitan untuk menyampaikan cerita singkat pada usia 4 sampai 5 tahun.
Patut diperhatikan jika bicara anak tidak sesuai dengan anak normal yang seumuran dengannya. Terutama jika bicara anak tidak menunjukkan makna yang tepat pada umumnya berlaku pada tahap perkembangan bicara anak. Penyebab umum keterlambatan bicara anak adalah kecenderungan retardasi mental pada anak.
Riwayat kesehatan juga harus memasukkan sejarah sakit yang pernah dialami ibu selama masa kehamilan, trauma sesudah kelahiran, berbagai infeksi, usia kehamilan pada saat kelahiran, berat lahir, penggunaan obat-obatan sebelumnya, latar belakang psikososial, cara berbicara kepada anak, serta riwayat anggota keluarga yang pernah memiliki keterlambatan bicara.
Ψ Intervensi
Intervensi yang dapat dilakukan guna mengatasi keterlambatan bicara ini adalah dengan memberikan terapi bicara secara rutin. Selain itu, orang tua pun dapat melakukan beberapa hal guna meningkatkan kemampuan anak dalam berbicara, yaitu:
 Bacakan cerita. Utamakan buku yang bergambar sehingga orang tua dapat menciptakan permainan menunjuk gambar serta memberi nama pada benda-benda milik keluarga.
 Gunakan bahasa yang sederhana ketika berbicara dengan anak dan minta ia untuk menjawab berbagai pertanyaan. Pastikan bahwa orang tua berbicara dengan penjelasan yang keras ketika menjelaskan tentang hal yang sedang dikerjakan kepada anak.
 Berikan respon sebagai penguat positif ketika anak berbicara.
 Ulangi dan perluas setiap anak mengucapkan sebuah kata atau frase menjadi sebuah frase atau kalimat yang lebih panjang.
 Bersabar dan memaafkan setiap kesalahan pengucapan yang dilakukan anak, beri ia kesempatan untuk mengucapkan apa yang ia maksudkan sebenarnya. Jangan paksa ia untuk berbicara terburu-buru.
 Jangan paksa anak untuk bicara dengan menahan sesuatu yang ia butuhkan hingga ia dapat mengucapkan keinginannya. Akan lebih baik jika anak menunjuk segelas air jeruk misalnya, katakan: ”Apa kamu mau minum jus?” atau ”Oh, kamu ingin mengambil gelasnya ya”, dll, lalu berikan benda tersebut kepada anak. Memaksa anak bicara atau terus-menerus mengingatkan anak agar mereka menggunakan berbagai kata dapat meningkatkan stres dan juga frustasi.


DAFTAR PUSTAKA

Ansel BM, Landa RM, Stark-Selz RE. Development and disorders of speech and language.
In: Oski FA, DeAngelis CD, eds. Principles and practice of pediatrics. Philadelphia:
Lippincott, 1994:686-700.

Coplan J. Evaluation of the child with delayed speech or language. Pediatr Ann 1985;14:203-
8.

Hurlock EB, PERKEMBANGAN ANAK Edisi Keenam Jilid 1, Jakarta: Penerbit Erlangga,
2003: 176.

McRae KM, Vickar E. Simple developmental speech delay: a follow-up study. Dev
Med Child Neurol 1991;33:868-74.

Whitman RL, Schwartz ER. The pediatrician's approach to the preschool child with language
delay. Clin Pediatr 1985;24:26-31.


http://en.wikipedia.org/wiki/Speech_delay yang direkam pada 1 Januari 2008 21:31:47 GMT

http://familydoctor.org/442.xml yang direkam pada 17 Januari 2008 07:48:10 GM6T.


http://www.aafp.org/afp/990600ap/3121.html yang direkam pada 19 Januari 2008.
http://www.keepkidshealthy.com

Minggu, 03 Februari 2008

EKSISTENSIALISME

 Kierkegaard
Soren Aabye Kierkegaard, demikianlah nama lengkap filsuf Denmark yang kemudian terkenal dengan singkatan S.K. Suatu hal yang khas pada filsuf ini ialah kegemarannya untuk menulis dengan berbagai nama samaran. S.K. memang mengalami suatu krisis perihal identitas dirinya sebagai anggota keluarga Kierkegaard.
S.K. dilahirkan pada tanggal 5 Mei 1813 dan meninggal pada tanggal 11 Nopember 1855; kedua peristiwa ini – dan hampir semua peristiwa-peristiwa penting yang terjadi dalam hidupnya – terjadi di Kopenhagen. Kierkegaard dalam usia dewasanya hanyalah berpindah-pindah kamar sewaan di Kopenhagen. Hidupnya yang berakhir ketika ia menjelang usia 43 tahun itu tidak memungkinkan ia mengalami masa kejayaannya sebagai filsuf.
S.K. dilahirkan sebagai anak bungsu dalam keluarga tujuh bersaudara. Ketika S.K. lahir keluarganya tergolong keluarga berada di masyarakat. Ayahnya sangat memperhatikan pendidikan anak-anaknya; terutama S.K. yang bungsu merupakan anak kesayangan karena kecerdasannya.
Michael Pedersen Kierkegaard memiliki hasrat yang kuat untuk mendidik S.K. sebagai persiapan untuk memasuki sekolah teologia. Dalam sejarah hidupnya ayahnya telah mengalami dua peristiwa traumatis yang sungguh-sungguh berbekas selama hidupnya. Pertama, ketika di waktu kecil ia pernah menghujat Tuhan akibat kemelaratan yang ia jalani. Kedua, penyelewengan yang dilakukannya dengan Anne Lund, istri keduanya hingga melahirkan ketujuh orang anaknya. Ketika hal ini akhirnya diceritakan kepada S.K., oleh S.K. hal ini ditonjolkan sebagai suatu peristiwa dalam hidupnya yang diibaratkan sebagai gempa yang dahsyat.
Bagi S.K. sendiri serentetan kematian anggota keluarganya merupakan sebab kemurungan yang mendalam dalam dirinya. Dari tujuh bersaudara, tinggal dua saja yaitu kakaknya Peter Christian, dan S.K. sendiri. Kemudian dalam diri S.K. timbullah suatu prasangka yang kuat bahwa kutukan Tuhan telah jatuh pada keluarganya. Kalau tidak mengapa maut terus-menerus mengejarnya.
S.K. menafsirkan kepahitan-kepahitan dalam kehidupan keluarganya, dan khususnya serentetan kematian yang terjadi di dalamnya, sebagai berlakunya hukum kutukan terhadap keluarga Kierkegaard. Dalam kebingungan yang hebat serta kemurungannya yang mendalam S.K. memutuskan untuk melupakannya dan S.K. pun mulai dikenal sebagai peminum dan pemabok.
Namun demikian S.K. tetap berusaha untuk tampil sebagai orang yang riang, atau setidak-tidaknya mampu menggembirakan orang lain, meskipun dalam hati ia tetap merintih dalam kesedihan yang tak kunjung hilang. Karena Tuhan pun baginya sudah runtuh bersamaan dengan gugurnya ayahnya sebagai lambang pujaannya; gugur sejak terjadinya gempa dahsyat dalam jiwanya akibat ungkapan rahasia ayahnya.
Dua tahun setelah ayahnya meninggal S.K. berhasil menyelesaikan ujiannya dalam Teologi (Juli 1840) dan tepat setahun kemudian tesisnya yang berjudul The Concept of Irony (Juli 1881) diterima pula sebagai pelengkap ujian teologinya yang berhasil ditempuh cum laude. Tiga orang yang besar pengaruhnya terhadap diri S.K. dan kemudian lagi-lagi mempengaruhi corak alam pikirannya: Michael Pedersen Kierkegaard, Paul Martin Moller dan Regina Olsen.
S.K. mulai melancarkan pendapatnya, bahwa hidup bukanlah sekedar sesuatu sebagaimana kita pikirkan, melainkan sebagaimana kita hayati. Makin mendalam peghayatan kita perihal kehidupan, makin bermaknalah kehidupan.
Manusia akan terus-menerus dihadapkan pada pilihan-pilihan. Akan tetapi pilihannya yang pertama haruslah diputuskan sejauh menyangkut apa yang baik dan apa yang buruk; kemudian ia harus mampu menempatkan diri di salah satu pihak, yang baik atau yang buruk. Baru kalau seseorang telah menetapkan apa yang baik dan apa yang buruk; baru setelah ia memilih tempat satu di antara keduanya, baru kemudianlah putusan-putusannya menjadi bermakna. Untuk memilih dan membuat keputusan itu manusia bebas; artinya, ia harus mampu mempertanggungjawabkan dirinya. Justru oleh kesediaan bertanggungjawab ini maka kebebasannya untuk memilih dan memutuskan menjadi bermakna pula.
Sejak penemuannya kembali, maka bagi S.K. Tuhan adalah suatu kedekatan baginya. Bagi S.K. agama harus dihayati sebagai suatu pengalaman subyektif. Juga dalam hubungan ini, S.K. menekankan bahwa yang menjadi soal bukanlah agama itu sendiri, melainkan bagaimana menjalani suatu eksistensi beragama.
S.K. menganggap sia-sia usaha orang yang ingin membuktikan ada tidaknya Tuhan. Jalan menuju Tuhan tidak mungkin ditempuh melalui logika yang abstrak, melainkan harus didasarkan pada penghayatan subyektif. Kedekatan dengan Tuhan adalah penghayatan eksistensial; Tuhan sebagai kebenaran yang dihayati adalah subyektif, adanya Tuhan adalah kepercayaan, dan kepercayaan terhadap Tuhan tidak bisa melalui pengobyektifan.
Salah satu di antara masalah-masalah yang menjadi pemikiran S.K. adalah menyangkut abad modern ini. dalam salah satu karyanya yang diberi judul The Present Age ia memperingatkan, bahwa umat manusia sedang menghadapi munculnya suatu zaman di mana proses penyamarataan akan terjadi. Dengan wawasan yang tajam sekali S.K. sudah menjangkau keadaan yang akan ditimbulkan oleh abad mesin dan teknologi; ia sudah meramalkan bahwa proses penyamarataan itu akan menyebabkan timbulnya frustrasi yang makin lama makin mendalam, oleh karena manusia dicengkeram olehnya.
Eksistensi bagi manusia adalah tugas. Dan salah satu yang menjadi pesannya ialah, bahwa eksistensi itu dijalani dengan kesejatian; artinya, janganlah tampil dengan kesemuan. Maka jelaslah bagi S.K. eksistensi harus dihayati sebagai sesuatu yang etis dan religius. Eksistensi yang sejati memungkinkan individu memilih dan mengambil keputusan serta bertindak atas tanggungjawabnya sendiri. Untuk itulah S.K. menganggap suyektivitas dan eksistensi sejati itu suatu tugas.
Publik bagi S.K. hanyalah suatu abstraksi, dan bukannya suatu realitas. Yang menyebabkan ‘publik’ itu menjadi berbahaya ialah karena seringkali apa yang ‘publik’ itu dianggap riil. S.K. mengingatkan kita pada kenyataan bahwa orang seringkali berusaha untuk diperhitungkan dengan jalan menggabungkan diri dalam kelompok-kelompok atau menggalang kekuatan dengan mengumpulkan tanda tangan. Ini suatu bukti bahwa orang-orang demikian itu tidak mampu untuk tampil sendiri secara berarti; mereka ini adalah orang-orang yang lemah.
Bagi S.K. kesamaan manusia hanyalah di hadapan Tuhan. Dalam naungan kasih Tuhan maka semua manusia adalah sama. S.K. yang tadinya memberontak keras terhadap Tuhan dan agama, setelah pulih kepercayaannya terhadap Tuhan, sungguh-sungguh kemudian tampil sebagai homo religius. Tuhan baginya adalah satu-satunya tempat untuk menyerah dengan segala kesejatian; juga dalam menyerahkan hidupnya. S.K. adalah filsuf yang pertama kalinya memberi arti yang khas pada perkataan eksistensi, serta segala gagasan-gagasan lainnya yang ditumbuhkan atas pengertian tersebut.

 Nietzsche
Friederich Wilhelm Nietzsche dilahirkan di Rocken, Prusia, pada tanggal 15 Oktober 1884. Tanggal lahirnya bertepatan dengan tanggal lahirnya Friederich Wilhelm IV, raja Prusia yang dikagumi pada zamannya. Agaknya hari ulang tahunnya itulah satu-satunya kenangan masa kanak-kanak yang paling mesra bagi Nietzsche. Sebab selanjutnya ia terus-menerus hidup dalam kemalangan seorang yang lemah, sakitan, dan papa. Semenjak ayahnya meninggal, Nietzsche dirawat oleh ibunya dengan kehalusan dan kemanjaan. Salah satu kegemarannya adalah membaca buku. Sebagai seorang yang berasal dari keluarga pendeta, maka tidak mengherankan kalau Nietzsche paling tekun membaca Injil.
Sejak kecil ia suka menyendiri, dan dalam kesunyiannya itu ia membaca dan merenung. Nietzsche dikesankan sebagai seseorang yang pemalu dan tidak banyak bicara sehingga terkadang menimbulkan kesan yang lemah dan letih.
Pada usia delapan belas tahun ia kehilangan kepercayaannya terhadap Tuhan. Mengingat latar belakang keluarga dan pendidikannya maka peristiwa ini sepintas lalu tampaknya janggal; kita mudah menduga bahwa negasi terhadap Tuhan ini adalah serupa dengan gejala remaja yang bersifat sementara. Akan tetapi nyatanya, sejak saat itulah Nietzsche memulai petualangan dalam dunia filsafat.
Jika saja orang menafsirkan bahwa segala ungkapan Nietzsche yang dahsyat dan menjulang tinggi itu adalah kompensasi terhadap kenyataannya yang bersifat lemah dan hampir tak berdaya. Ada pula anggapan yang menganggap karya Nietzsche sebagai ungkapan kegilaannya. Ia memang dikenal mengidap paranoia dan waham kebesaran.
Ia menganggap bahwa dalam hidup ini yang kuatlah yang akan menang, maka kebajikan utama dalam kehidupan adalah kekuatan. Apa yang dinyatakan sebagai kebajikan utama dalam hidup haruslah kuat; sebaliknya segala yang lemah adalah buruk dan salah.
Dalam hubungan antar bangsa Nietzsche pun menolak adanya kesamaan hak. Kemanusiaan yang terdiri atas bangsa-bangsa harus dipimpin oleh bangsa yang agung; yang lemah harus menyerah, kalau tidak maka ia harus dikalahkan dengan jalan perang dan penaklukan.
Nietzsche yang telah kehilangan kepercayaannya terhadap Tuhan, yang telah memusnahkan Tuhan, rupa-rupanya telah menemukan Zarathustra sebagai gantinya. Jelaslah bahwa kegagalan Nietzsche dalam pergaulan dengan sesama manusia yang menyebabkan ia mengasingkan diri dari mereka telah membuat Nietzsche berhadapan dengan dirinya sendiri yang dijelmakan sebagai imago Zarathustra. Oleh karenanya dalam Zarathustra kita mendapatkan semacam monologi; yaitu suatu percakapan antara Nietzsche dengan dirinya sendiri.
Bagi Nietzsche, manusia harus mencipta tak henti-hentinya. Bagi Nietzsche, mencipta menjadi mungkin oleh karena tuhan-tuhan sudah mati, sudah lama sekali mati. Mereka saling mentertawakan diri sampai mati semuanya.
Demikianlah jalan pikiran Nietzsche mengenai matinya para tuhan. Dengan demikian itu maka terbukalah kesempatan bagi manusia untuk menjulangkan dirinya setinggi-tingginya, yaitu sebagai pencipta. Dengan matinya Tuhan,maka nista pula apa yang disebut dosa. Mencipta dan sekali lagi mencipta; itulah satu-satunya kebajikan bagi manusia.
Manusia tidak perlu beku dalam ketakutan dan kepercayaan terhadap apa yang diriwayatkan kepadanya. Ia harus berani, karena keberanian adalah kebajikan yang terunggul. Dalam pikiran Nietzsche jelaslah bahwa perang pun merupakan suatu keharusan, yaitu sebagai seleksi alam untuk menangnya serta berkuasanya mereka yang kuat. Bagi Nietzsche, kecintaan terhadap hidup tidak perlu berarti ketakutan terhadap mati. Bukankah semua orang harus mati?
Dan dalam kecintaan serta keberanian menempuh hidupnya, manusia sepatutnya tidak mengharapkan belas-kasihan orang lain. Sepanjang kita menjelajahi alam pikiran Nietzsche maka nyatalah betapa Nietzsche bertekad untuk membangun suatu moralitas baru, dan untuk ini Nietzsche tidak mengenal kekuatiran ataupun hambatan-hambatan. Moralitas yang hendak dibina Nietzsche adalah moralitas kejantanan yang ulung; tanpa gemetar sedikit pun Nietzsche mengumumkan bahwa “Tuhan sudah mati”.
Nietzsche bisa disebut nihilis, oleh karena ia lebih dahulu menihilkan segala nilai lama, mempersetankan segala nilai yang sudah mantap. Makin ia merasa tidak dimengerti orang, makin mejadi-jadi gejala paranoia dan megalomania padanya. Pada akhirnya hidupnya Nietzsche harus dirawat di rumah sakit jiwa. Ibunya meninggal tiga tahun mendahului Nietzsche, maka Nietzsche dirawat oleh saudaranya Elizabeth.
Pada usia yang tidak terlalu lanjut, pada tanggal 25 Agustus 1900, rajawali kaum filsuf ini menghembuskan nafasnya yang penghabisan, di Weimar, meninggalkan nama dan karya-karyanya yang sampai hari ini masih dapat dinikmati.

 Berdyaev
Nicolas Alexandrovitch Berdyaev dilahirkan di Kiev pada tanggal 6 Maret 1874. Sejak kecil ia sudah dikenal sebagai seorang yang sensitive sekali serta cerdas dalam menanggapi persoalan-persoalan yang dihadapinya. Pengalamannya belajar di akademi militer ini merangsang Berdyaev untuk berpikir tentang suatu bentuk kehidupan yang diatur atas dasar regimentasi serta konformisme yang kaku.
Pada tahun 1894, sebagai mahasiswa ilmu hukum, Berdyaev menegaskan dirinya sebagai seorang marxis. Ia meninjau kembali seluruh ajaran Marx, dan ia sangat merasakan kelemahan-kelemahan materialisme sebagai ajaran yang dianjurkan oleh Marx. Dalam meninjau kembali Marxisme ini Berdyaev sangat dipengaruhi oleh tulisan-tulisan Ibsen dan Dostoyevski. Dostoyevski merupakan tokoh yang paling dikaguminya. Melalui tokoh-tokoh inilah Berdyaev menemukan keyakinannya bahwa suatu filsafat sosial tidak bisa dibangun atas pikiran-pikiran yang berdasarkan materialisme belaka.
Pada tahun 1903 ia pergi ke Jerman untuk mengikuti kuliah-kuliah Wilhelm Windelband di Universitas Heidelberg. Setahun kemudian ia kembali ke Rusia, menikah dengan Lydia Yudifona dan menetap di St. Petersburg. Pada tahun 1907 ia pindah ke Moskow dan menjadi anggota suatu perkumpulan filsafat yang religius.
Seluruh filsafat Berdyaev didasarkan pada antroposentrisme, dan atas dasar itu pula ia membangun filsafatnya yang dikenal sebagai eksistensialisme. Baginya manusialah yang menjadi masalah yang pertama dan terutama.
Manusia sebagai makhluk spiritual adalah kebebasan, sedangkan sebagai hasil ilmiahnya maka ia menghayati keharusan-keharusan. Kebebasan itu dibatasi oleh keharusan-keharusan tadi. Bagi Berdyaev yang menjadi soal ialah, bagaimana manusia menghayati eksistensinya dalam kebebasan. Bagaimana mengatasi paradoks yang dihayati manusia, agar ia mampu mencapai kebebasan eksistensi sebagai pribadi.
Kesejarahan akan tetap merupakan suatu arena di mana manusia menghayati eksistensinya sebagai suatu paradoks antara kebebasan dan keharusan yang mengikat. Berdyaev memperingatkan, bahwa individualisme tidak kurang berbahaya daripada kolektivisme. Individualisme hanyalah membawa manusia pada kecenderungan untuk menuju diri sendiri dan tidak menghiraukan kebebasan orang lain. Individualisme mengakibatkan kecenderungan untuk menjadikan diri sendiri sebagai ukuran segala sesuatu, termasuk ukuran-ukuran tentang kebenaran.
Sebaliknya, kolektivisme yang mengakibatkan hilangnya suatu pusat eksistensi pribadi. Kolektivisme menguatkan anonimitas, dan oleh karenanya tidak mampu menjadikan manusia menghayati dirinya sebagai eksistensi yang bebas. Berdyaev yang terkenal sebagai filsuf yang religius pun tidak mau melepaskan gagasannya tentang kebebasan pribadi itu sebagai dasar untuk penghayatan religius serta kepercayaannya terhadap Tuhan.
Berdyaev menyatakan bahwa Marxisme adalah akibat dari kegagalan agama Kristen. Pada tanggal 24 Maret 1948 Berdyaev meninggal dunia di ruang kerjanya, ketika sedang duduk di meja tulisnya.

 Jaspers
Karl Jaspers dilahirkan pada tanggal 23 Februari 1883 di Oldenburg, Westphalia. Ayahnya, Karl Jaspers, seorang ahli hukum dan menjabat sebagai presiden direktur sebuah bank; sedangkan ibunya, Henriette Tantzen, berasal dari keluarga petani. Pada tahun 1910 ia menikah dengan Gertrude Mayer, putri keluarga Yahudi yang saleh.
Karl Jaspers mempunyai latar belakang pendidikan yang bermacam-macam; dan oleh karena latar belakang pendidikannya ini maka filsafatnya juga menunjukkan keluasan, yaitu meliputi berbagai bidang seperti psikologi, psikopatologi, politik, pengaruh teknologi terhadap manusia dan kemanusiaan, dan sejumlah bahasan-bahasan mengenai filsafat-filsafat masa sebelumnya.
Menurut Jaspers, perbedaan-perbedaan pandangan dunia itu menimbulkan juga perbedaan-perbedaan dalam pengamatan terhadap kenyataan dan penerimaan kebenaran, maka Jaspers menolak kemungkinan disusunnya suatu ontologi yang universal.
Jaspers sampai pada kesimpulan, bahwa makin sungguh-sungguh sadar seseorang tentang kebebasannya, makin kuat kepastiannya tentang adanya Tuhan. Bagi Jaspers maka Tuhan adalah sumber kebebasan, akan tetapi juga dalam kebebasan Tuhan dapat ditemui. Tuhan bagi Jaspers adalah suatu keterbukaan yang tak kunjung beku dalam penghayatan manusia.
Sebagai kenyataan manusia ada sebagai dua segi. Di satu pihak ia ada sebagai sesuatu fakta belaka, suatu Dasein, akan tetapi di lain pihak ia adalah eksistensi yang kongkrit dalam situasi ruang dan waktu.
Membayangkan suatu kebebasan yang terlepas sama sekali dari orang lain atau batasan-batasan lainnya tidak mungkin. Kebebasan yang menjadi kondisi untuk suatu eksistensi yang sejati haruslah dihayati bersama orang lain, oleh karena kesejatian eksistensial hanya terungkap dalam suatu komunikasi eksistensi pula, suatu hubungan intersubyektif dengan orang lain. Oleh karena itu Jaspers dengan tegas menolak mungkinnya kebebasan yang bersifat mutlak. Kebebasan mutlak adalah tidak mungkin.
Jaspers berpendapat oleh karena kita mengarahkan diri pada Transendensi itulah maka kebebasan bisa dihayati; bukan saja kebebasan, akan tetapi juga dengan Transendensi itulah maka manusia terhindar dari suatu eksistensi yang hampa dan tak bermakna. Jaspers menerima bahwa eksistensi berakar pada Transendensi, yaitu Tuhan. Akan tetapi Jaspers menentang obyektifikasi Tuhan, baik oleh pemikiran ilmu pengetahuan maupun oleh penyajian yang dogmatis dari gereja.
Jaspers meninggal di Basel pada tanggal 26 Februari 1969, setelah mencapai kedudukan yang mantap sebagai seorang filsuf dengan pandangan-pandangan serta pikiran-pikirannya sendiri.

 Sartre
Jean-Paul Sartre dilahirkan di Paris pada tanggal 21 Juni 1905. Keluarganya tergolong kelas menengah; ayahnya penganut Katolik sedangkan ibunya seorang Protestan. Jean-Paul sejak kecil dikenal sebagai anak yang fisiknya lemah sekali dan sangat sensitive. Salah satu kegemarannya ialah menghabiskan waktunya dengan melamun dan berkhayal, suatu gejala yang lazim kita jumpai pada anak-anak yang lemah fisiknya dan tidak mampu menghadapi lingkungan teman-teman yang cenderung untuk menonjolkan kekuatan fisiknya.
Sartre sempat belajar kepada Husserl di Berlin, melalui Husserl lah Sartre mengenal metode fenomenologis. Suatu metode yang kemudian dikembangkan Sartre dalam filsafatnya tentang eksistensi.
Bagi Sartre, manusia mengada dengan kesadaran sebagai dirinya sendiri. Dengan perkataan lain, bagi manusia eksistensi adalah keterbukaan; berbeda dengan benda-benda yang lain di mana ada itu berarti sekaligus esensi, maka bagi manusia eksistensi mendahului esensi.
Tuhan tidak bisa dimintai tanggung jawab dan tidak bisa dijadikan tempat untuk menggantungkan tanggung jawab. Tuhan tidak terlibat dalam putusan yang diambil oleh manusia. Manusia adalah kebebasan, dan hanya sebagai kebebasan ia bisa bertanggungjawab.
Bagi Sartre, kebebasan itu mutlak; tanpa kebebasan eksistensi menjadi sesuatu yang absurd. Kebebasan itu melekat pada setiap tindakan manusia. Apa yang dilakukan manusia seharusnya diartikan sebagai ungkapan dari kebebasannya, sebab ia pun bisa memilih untuk bertindak lain.
Konsekuensi daripada kebebasan yang tak terbatas ini adalah tanggung jawab yang tanpa batas pula. Tanggung jawab yang dihayati tanpa batas ini pun merupakan beban eksistensial yang memuakkan.
Salah satu kekhususan dalam filsafat Sartre ialah betapa besarnya ia mencurahkan perhatian pada orang lain sebagai kenyataan. Nyata sekali dalam berbagai karya Sartre, betapa orang lain itu menduduki tempat yang paling penting dalam alam pikirannya. Nyata pula betapa pesimistis Sartre menanggapi orang lain itu sebagai kenyataan yang melekat pada eksistensi.
Eksistensi sebagai kebutuhan itu membawa kelanjutan, bahwa kita menghayati tubuh kita sebagai pusat dari dunia yang kita diami, yaitu kita diami dengan penghayatan ketubuhan tadi. Oleh karena itu maka ketubuhan itu pun menjadi suatu titik orientasi kita.
Sampai akhir hidupnya Sartre tidak pernah menegaskan sikapnya tentang Tuhan. Bagi Sartre ada atau tidak adanya Tuhan bukanlah masalah yang menyibukkan dirinya, karena ia hanya ingin memusatkan pemikirannya pada eksistensi manusia; dalam hubungan ini masalah ada atau tidak adanya Tuhan tidak memiliki relevansi. Eksistensi manusia adalah suatu kenyataan yang bukan dipilih sendiri oleh manusia; ia terdampar dalam kenyataan itu untuk selanjutnya menerima kenyataan itu sebagai fakta yang tak dapat dihindarinya. Ia menghadapi keharusan untuk mewujudkan diri pribadinya dalam keberadaannya di dunianya. Seperti juga awal kehadirannya sebagai eksistensi, maka juga akhir keberadaannya itu pada hakikatnya terletak di luar pilihannya sendiri.
Sartre hidup bersama tanpa menikah dengan filsuf wanita yang menjadi tenar oleh karyanya “The Second Lex” (Le Deuxieme Sexe), yaitu Simone de Beauvoir. Bertentangan dengan kelaziman yang berlaku, hubungan antara Sartre dan de Beauvoir sejak masa muda mereka di Universitas Sorbonne tidak pernah diresmikan sebagai hubungan suami-istri dengan cara ampun. Meskipun demikian, keduanya menjalin suatu kebersamaan yang utuh, hingga masa tuanya. Ketika Jean-Paul Sartre menjadi rabun penglihatannya, Simone seringkali membacakan hal-hal yang dianggap menjadi minatnya sebagai filsuf. Ketika pada tanggal 15 April 1980 Jean-Paul Sartre meninggal dunia; Simone-lah satu-satunya sahabat hidupnya yang setia membangun kebersamaan dengan raksasa eksistensialisme itu, tanpa ada di antara keduanya kehilangan kesejatiannya.

*Diringkas dari buku Prof. DR. Fuad Hasan, BERKENALAN DENGAN EKSISTENSIALISME Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya (1985)