Selasa, 16 Oktober 2007

WHAT LIES BENEATH THE DEATH SENTENCE OF SADDAM HUSEIN

Since 1979, Saddam Husein ruled Iraq. One of the country in middle east whose land is rich of oil. Oil has become the main source income for this country. Though the United Nation gave economic embargo to Iraq as a consequence of gulf war, still doesn’t stop Iraq from producing and selling oil to country from all over the world.
Saddam was known as a dictator, since he controlled almost everything that lives in his country. He put his family and relatives as leaders in all departments in Iraq. On militer, the generals are his relatives and closed friends. So that he could controlled the country without any doubt. What he said was an order that must be obey, that had become unwritten law but every Iraq people realized it very well.
Before gulf war happened, Saddam had good relationship with USA. Many things about militer Saddam learned from CIA. He even bought weapons from USA through CIA. The reason why America built harmonic relation with Saddam because they thought Saddam was less evil than Khomeini who ruled Iran at that moment. USA was trying to find an alley to fight Khomeini and Saddam was the one.
Though he maintained good relation with USA but not included following all Washington’s policy concerning middle east such as accepting Israel as a country. Saddam did not agree at all. He supported the Palestinians by giving food and weapon to them. This, made Washington hit the ceiling. Because of his hard attitude, USA began to dislike him. And love-hate relationship between USA and Iraq growed ever since.
USA invated Iraq on March, 2003 in the name of war against terrorism. Bush accused Saddam used mass destruction weapon and his also responsible for the attacking of WTC on September 11th, 2001. Two things which had never been proved until now. But still, Saddam’s life had to end by death sentence.
The funny thing was, Bush admitted that none of his accusements about Saddam was proven. That Saddam had nothing to do with 9/11 attack, and he did not have nuclear weapon. Instead of canceling the invation to Iraq, Bush ordered his troops to attack Iraq on March, 2003 only to satisfied his personal ego.
Many lifes died ever since the invation. According to Lancet’s data 655 thousands Iraqi died and 3000 troops of US alley also lost their lifes on this battle. There’s nothing Washington could do besides sit and watched the war keep burning until now.
America’s invation clearly shown to the world how powerful its position. As a super power country, America free to invate every country in this world in the name of fighting terrorism. The UN has become its puppet, not mentioned NATO as its primary alley. No wonder NATO now is known stands for No Action Talk Only. Because that’s all they can do.
Undeniable fact happens in America. Once again, according to latest data update most of Americans refused to give Bush support in continuing sending troops to Iraq. People are sick and tired with Bush. They are through with him.

6 April 2007
Rf_0627

Minggu, 07 Oktober 2007

STRUGGLING

When u struggle 2 reach ur goal, feeling bitter is a must
But it will fade away, then a sweet victory shall come 2 u....

Midnight, May 15th, 2007

KEUTAMAAN WANITA DALAM ISLAM


Alhamdulillah, tiada sanjungan dan pujian selain hanya untuk ﷲ swt. Dzat Yang Maha Agung dan Maha Lembut yang telah menciptakan wanita sebagai belahan jiwa laki-laki dan menjadikannya sumber cinta kasih bagi orang-orang yang berada di sekelilingnya. Bagi orang tua, suami, anak-anak, teman, kerabat, handai taulan, bahkan bagi pribadi yang tak dikenalnya sekalipun.
ﷲ swt telah menciptakan wanita dengan keunggulan perasaan dan sensitivitasnya yang tinggi. Bukan tanpa sebab ﷲ memberikan kelebihan tersebut, karena dengan kedua hal tersebut wanita mampu mengalirkan energi cinta kasih yang dimilikinya guna melaksanakan tatanan yang telah diberikan ﷲ swt dan rasulNya demi meraih ridhaNya.
Kedudukan wanita di dalam Islam begitu mulia. Di dalam sebuah hadits disebutkan bahwa dunia ini adalah seluruhnya kesenangan dan sebaik-baik kesenangannya adalah wanita yang shalih (mar’atus sholihah). Pesan yang tersirat dari hadits di atas adalah sebuah penggambaran yang indah tentang peranan penting wanita dalam mewujudkan kebahagiaan dan kesenangan bagi pasangan hidupnya, sehingga dapat membangun rumah tangga yang penuh dengan sakinah dan mawaddah wa rahmah. Sehingga akan lahirlah generasi penerus yang kan meneruskan tonggak perjuangan dalam menegakkan kalimat ﷲ di muka bumi ini. Tentu saja generasi unggul ini hanya akan terlahir dari wanita yang terpilih yang senantiasa memelihara diri dari segala hal yang dapat membuat murka Sang Khaliq.
Belakangan pemahaman wanita muslimah tentang jati dirinya yang sungguh mulia dan ketetapannya tlah diatur dengan sempurna di dalam syari’ahNya berusaha dikaburkan oleh propaganda sesat Barat mengenai kesetaraan gender. Kesamaan hak dan perlakuan yang sama dengan laki-laki. Mereka ingin menghancurkan wanita muslimah yang kan melahirkan generasi penerus Islam. Dan pada akhirnya setelah hancur wanita muslimah maka akan hancur pula lah generasi penerus yang dilahirkan kelak. Na’udzubillah tsumma na’udzubillah.
Di dalam syari’ah yang tlah sempurna ini tidak terdapat ketidakadilan sedikitpun. Di dalam berbagai firmanNya ﷲ swt senantiasa menyebut bahwa setiap yang beriman baik laki-laki maupun perempuan apabila mengerjakan amal shaleh maka ﷲ swt akan memberikan ganjaran berupa pahala yang besar dan masuk surga tanpa dizhalimi sedikitpun. (Q.S. Al Mu’min/40:40).
Di mata ﷲ seseorang dipandang mulia karena ketaqwaannya….inna akramakum indallahi atqookum………..dan bukan karena jenis kelaminnya. Yang membedakan antara manusia yang satu dengan yang lainnya adalah derajat ketaqwaanya di sisi ﷲ swt dan ﷲ Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
Tak perlu risau akan status kedudukan wanita di dalam Islam karena Islam menempatkan wanita pada tempat yang paling mulia. Sejarah mencatat bahwa orang pertama yang oleh rasulullah saw dikabarkan masuk surga adalah seorang wanita, dialah Sumayyah binti Khayyat yang syahid demi mepertahankan aqidahnya. Meski terus mendapatkan siksaan yang kejam dari Abu Jahal namun Sumayyah bergeming hingga akhirnya Abu Jahal kehilangan kesabaran dan menusukkan tombak hingga Sumayyah menemui ajalnya. Sumayyah syahid dan pergi bertemu dengan Rabbnya.
Wanita memiliki peranan penting dalam membangun ikatan emosional dengan anak. Hal yang hanya bisa dilakukan oleh wanita karena wanita memiliki kepekaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang dimiliki oleh laki-laki. Ketika anak mengalami tekanan atau stress maka figur ibulah yang dapat memberikan rasa aman dan meningkatkan kepercayaan diri pada anak. Anak banyak belajar dari ibu, sebagaimana di dalam sebuah hadits disebutkan al ummu madrasatul uula bahwa ibu adalah madrasah pertama bagi anak. Itulah mengapa wanita memegang peranan penting dalam pendidikan anak-anaknya. Sungguh betapa mulia tugas wanita bukan?!? Mencetak generasi penerus yang kan meneruskan tonggak perjuangan dalam menegakkan syari’at ﷲ di muka bumi ini.

Bumi ﷲ , 28 April 2007
rf_0627

l

Sabtu, 06 Oktober 2007

Teruntuk ayahanda ku tercinta


Sekuntum mawar merah ku petikkan untukmu
Sebelanga cinta ku kirimkan teruntuk sosok yang ku rindu nan jauh di sana
Adakah hatimu dapat merasakannya, duhai ayah

Ayah, terima kasih atas kasih sayang yang tulus
Terima kasih atas segala pengorbanan yang telah kau beri
Terima kasih atas semuanya
Entah apa yang bisa ku beri tuk menebus semua itu

Semoga kelulusanku mampu percikkan bahagia di hatimu
Ku harap kesungguhanku sanggup jentikkan dian kasih di dirimu selalu
I luv u so much

fitri

Jumat, 05 Oktober 2007

Mamaku sayang


Mama, wanita jelang paruh baya yang meski usianya menginjak 47 tahun ini namun perilakunya lebih mirip ABG usia 15 tahun dengan kepribadian anak usia 5 tahun. Banyak perilaku “ajaib” yang sering buat aku tersenyum sekaligus geleng-geleng kepala. Mulai dari cara menerima telfon yang lucu, hobi minta gendong yang suka maksa, cara bicara sering salah yang gak mau dibetulin, sampe pola ngambek yang luar biasa bikin pusing . Namun meski begitu she’s still the best mom on earth 2 me .

Mama, aku tahu aku banyak mengecewakanmu baik secara sengaja maupun tidak. Tapi sungguh, jauh di lubuk hati aku tidak pernah bermaksud tuk melukai hatimu . Aku tahu mama berharap banyak padaku, dan ma izinkan aku tuk mengucap maaf karena hingga kini aku belum dapat memenuhi semua keinginanmu.

Mama selalu ingin aku menjadi sosok yang sempurna dalam segala hal. Inginku pun begitu ma, tapi aku hanya manusia biasa yang masih sangat jauh dari kesempurnaan. Jika kelak aku tak dapat memenuhi semua keinginanmu, semoga kau memaafkanku.

Ma, betapa sayang aku padamu. Betapa ingin aku membahagiakanmu. Betapa ingin aku memenuhi semua inginmu. Betapa ingin ku bantu kau wujudkan semua asa yang kau punya. Mungkin aku memang tak pandai dalam mengungkapkan rasa Morph ku padamu. Tapi ku ingin kau tau, rasa itu kan selalu ada di lubuk hati ini hingga akhir hayatku. Ma, aku sayang mama .

In my bedroom

Friday, January 26, 2007

(10:02 am)

MorphMorphMorphMorphMorphMorphMorph

-fitri-

on vacation

Senin, 01 Oktober 2007

PEMBENTUKAN KONSEP DIRI PADA ANAK-ANAK JALANAN


Masa kanak-kanak merupakan masa yang memegang peranan penting dalam pembentukan kepribadian individu. Dalam beberapa tahun awal kehidupan inilah individu mulai memasukkan berbagai pengalaman yang mereka dapatkan ke dalam memori mereka. Memori yang mengandung berbagai data pengalaman selama rentang kehidupan masa kanak-kanak inilah yang nantinya akan digunakan oleh individu sebagai dasar pembentukan konsep diri yang akan terus melekat pada individu selama hidupnya.
Berbicara tentang konsep diri anak tentulah sudah pasti terkait dengan peran penting orang tua serta pengaruh lingkungan sekitar tempat anak tumbuh dan berkembang. Orang tua lah yang pertama kali memberikan pendidikan kepada anak. Ketika sudah mulai tumbuh dan berkembang, anak pun mulai berinteraksi dengan lingkungan luar keluarga. Dari hasil interaksi itulah anak akan mendapatkan pengalaman yang kemudian dijadikan sebagai rujukan dalam pembentukan konsep diri.
Berbicara tentang konsep diri anak jalanan tentulah tidak bisa disamakan dengan pemahaman konsep diri anak pada umumnya. Karena harus kita sadari bahwa anak jalanan memiliki latar belakang sosial ekonomi yang berbeda dengan anak lain pada umumnya. Kehidupan yang keras, keharusan untuk hidup mandiri, perhatian yang kurang dari orang tua, lingkungan tempat tinggal yang tidak kondusif, minimnya kesempatan mengecap pendidikan formal adalah sebagian kecil faktor yang mempengaruhi pembentukan konsep diri pada anak jalanan.
Tak heran jika pada akhirnya anak jalanan memiliki konsep diri yang negative terhadap diri mereka sendiri dan hal ini berkorelasi dengan rendahnya tingkat kepercayaan diri yang mereka miliki. Mungkin banyak yang tidak setuju dengan pendapat di atas tetapi kalau saja anda mengamati secara lebih jeli maka anda akan menemukan kebenaran itu di lapangan. Coba anda perhatikan anak-anak yang sedang mengamen di jalanan, dari luar mereka tampak cuek dan acuh terhadap lingkungan sekitar. Dengan lantang mereka bernyanyi di hadapan orang-orang yang tak mereka kenal, sehingga sekilas kita akan berpikir bahwa mereka memiliki kepercayaan diri yang tinggi. Padahal sesungguhnya tidaklah demikian, sikap cuek dan acuh mereka tampilkan sebagai wujud mekanisme pertahanan diri (self-defence mechanism) semata. Jika mereka dihadapkan dengan situasi di mana mereka harus bernyanyi di hadapan orang-orang yang mengenal dan menaruh kepedulian kepada mereka, maka respon awal yang akan mereka tunjukkan adalah sikap malu-malu. Artinya mereka tidak cukup percaya diri untuk menampilkan potensi yang ada pada diri mereka.
Sungguh amat disayangkan jika potensi yang ada di dalam diri anak-anak harus terpendam hanya karena pemahaman konsep diri yang salah. Menjadi tanggung jawab kitalah sebagai sesama muslim guna meluruskan pemahaman yang salah. Bukankah sesama muslim itu bersaudara[1], maka sudah sepatutnyalah saudara yang satu menolong saudaranya yang lain.
Untuk meluruskan pemahaman tentang konsep diri, maka seyogyanya kita harus mengetahui dulu apa yang dimaksud dengan konsep diri itu sendiri. Menurut J.P. Chaplin di dalam Kamus Lengkap Psikologi[2] mendefinisikan konsep diri (self-concept) sebagai evaluasi individu mengenai diri sendiri; penilaian mengenai diri sendiri oleh individu yang bersangkutan. Jadi yang menentukan negative atau positif konsep diri adalah individu itu sendiri.
Stephanie J. Hanrahan[3], seorang psikolog dari The Unniversity of Queensland Australia menyatakan bahwa konsep diri memiliki korelasi positif dengan tingkat kepuasan hidup individu. Hal ini berdasarkan atas penelitian yang dia lakukan terhadap anak-anak yatim-piatu dari kalangan masyarakat tidak mampu di Meksiko. Pada awal penelitian anak-anak ini diminta untuk menuliskan hal-hal yang bisa mereka kontrol, namun tak satu pun anak bisa menuliskan hal tersebut. Mereka merasa dengan keadaan status social-ekonomi yang rendah membuat mereka tak berdaya untuk mengubah keadaan diri mereka sendiri. Mereka tak cukup percaya diri untuk membuka diri dengan lingkungan di luar komunitas mereka, karena mereka memandang negative terhadap diri sendiri.
Hal ini memiliki kemiripan dengan situasi anak-anak jalanan dan kaum dhu’afa yang ada baik di Islamic Centre Bekasi mau pun di tol timur. Anak-anak pada umumnya memiliki konsep diri yang negative, merasa tak cukup berharga sehingga kurang ada keinginan untuk belajar dan mengubah keadaan hidup mereka. Mereka pasrah dengan label negative yang telah melekat pada diri mereka sebagai anak-anak miskin yang tidak berpendidikan dan tidak tahu sopan santun.
Di sinilah peran kita sebagai pihak yang menaruh kepedulian terhadap mereka untuk meluruskan pemahaman yang salah ini. Agar nantinya anak-anak memiliki konsep diri yang positif dengan begitu maka akan timbul semangat dalam diri anak untuk membuka diri terhadap lingkungan luar. Interaksi dengan lingkungan luar komunitas mereka secara otomatis akan meningkatkan kepercayaan diri dan keinginan untuk belajar pada diri anak. Sehingga nantinya akan membuat anak teguh dalam memegang prinsip hidup dan mengedepankan identitasnya sebagai seorang muslim dan tidak akan terpengaruh dengan hal-hal negative yang dapat menjerumuskan mereka ke dalam kemaksiatan.
Dalam mengembangkan konsep diri anak meliputi tiga dimensi utama, yaitu; dimensi fisik, dimensi social-emosional, dimensi intelektual[4].
Dimensi fisik
Konsep fisik diri melibatkan lebih dari sekedar mengetahui perbedaan tubuh antara Anda dengan saya. Termasuk di dalamnya menyadari satu pertanyaan sederhana namun sangat penting “Apakah aku ini laki-laki atau perempuan?”. Anak harus diberi pemahaman yang benar tentang perbedaan jenis kelamin agar nantinya anak dapat bertingkah laku sesuai dengan peran jenis kelamin. Lebih jauh lagi perlu adanya penekanan terhadap anak agar mensyukuri keadaan fisik mereka dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Karena ﷲ telah menciptakan manusia dengan sebaik-baik bentuk[5].
Dimensi social-emosional
Setiap anak memiliki bagian dari diri social, yaitu perasaan tentang apa yang benar dan apa yang salah, apa yang harus mereka lakukan untuk menunjukkan rasa hormat kepada orang lain, bagaimana cara bersikap adil. Kesemua hal itu akan menjadi dasar terbentuknya konsep moral pada diri anak.
Anak mempelajari semua hal di atas berdasarkan pengalaman yang mereka dapatkan dalam kehidupan yang mereka jalani sehari-hari. Baik pengalaman yang mereka dapat ketika berinteraksi dengan orang tua, guru, mentor, dan masyarakat di lingkungan mereka berada. Anak belajar berbagai istilah deskriptif seperti “baik” dan “buruk”, “sopan” atau “tidak sopan”,.
Pada akhirnya dimensi social dari konsep diri akan tumbuh dari kemampuan untuk mengendalikan emosi, mendapatkan apa yang diinginkan tanpa harus bereaksi berlebihan atau melangkahi batas.
Yang dimaksud dengan emosi di sini adalah wujud perasaan yang kuat, mempengaruhi rohani dan jasmani, menguasai individu, dan berlangsung singkat dan kuat[6]. Contoh emosi adalah marah, sedih, kecewa, dan berbagai wujud perasaan lainnya.
Yusuf al-uqshari[7], seorang pakar psikologi social menyatakan bahwa pribadi yang sukses dalam kehidupan adalah pribadi yang mampu menguasai dan mengontrol emosinya. Maka dari itu hendaknya pengendalian emosi telah diajarkan sedini mungkin. Dimulai sejak dari masa kanak-kanak agar nantinya anak tumbuh menjadi pribadi yang sukses dalam kehidupan karena memiliki pengendalian emosi yang baik.
Adapun jenis emosi yang paling sering timbul pada diri anak jalanan sepanjang pengamatan penulis adalah marah. Ketika marah maka anak akan meluapkan dalam bentuk tindakan agresif, baik verbal (caci-maki, sumpah-serapah) maupun non-verbal (menyerang orang lain dengan tujuan untuk menyakiti secara fisik). Di sinilah mentor dapat memainkan peran pentingnya untuk membantu anak dalam mengendalikan emosinya ketika mereka marah. Perlu adanya pemahaman kepada anak bahwa dalam kacamata Islam, orang yang kuat adalah orang yang mampu menahan marahnya. Sesuai dengan hadits rasulullah saw:
Abu Hurairah r.a. berkata: Sesungguhnya Rasulullah saw bersabda: Bukanlah orang yang kuat itu orang yang dapat membanting lawannya. Kekuatan seseorang itu bukan diukur dengan kekuatan, tetapi yang disebut orang kuat adalah orang yang dapat menahan hawa nafsunya pada waktu marah.” (HR Bukhari Muslim)[8]
Sebagai mentor, dalam berinteraksi dengan anak-anak jalanan maka yang harus dikedepankan adalah sikap kasih sayang[9] dan rasa empati yang kuat. Mentor harus memandang segala sesuatu yang berkaitan dengan anak-anak dari sudut pandang mereka. Mentor harus memposisikan dirinya berada di posisi anak-anak, agar nantinya mentor dapat menjalin komunikasi yang baik dengan mereka. Nantinya jika komunikasi telah terjalin maka akan mempermudah mentor dalam memberikan pemahaman yang benar menyangkut konsep diri.
Dimensi intelektual
Dimensi intelektual seringkali diidentikkan dengan keberhasilan akademis. Lantas bagaimana dengan anak-anak yang tidak sekolah? Bagaimana kita mengetahui dimensi intelektual mereka? Menurut Profesor George Bear dan Kathy Minke, peneliti terkemuka mengatakan bahwa semua itu hanyalah mitos. Dimensi intelektual anak tidak selamanya tercermin dari sudut pandang akademis saja. Kecerdasan anak dalam bertingkah laku sehari-hari merupakan indikator yang menunjukkan dimensi intelektual anak. Ketika anak mampu menyimak pembicaraan dengan baik, menurut kala diberi nasihat yang baik, mampu bersikap sopan saat berinteraksi dengan lingkungan, adalah beberapa jenis tingkah laku yang menunjukkan dimensi intelektual anak. Hendaknya tingkah laku positif anak ini bisa dipertahankan. Bagaimana caranya?
Dr. Roan (1980) di dalam bukunya TERAPI UNTUK MENGUBAH TINGKAH LAKU[10] mengutip teori Skinner (1938) pelopor Teori Operant Conditioning menyatakan bahwa untuk mempertahankan suatu jenis tingkah laku adapatif maka dapat dilakukan dengan cara pemberian reinforcement (penguat). Dalam kasus di atas maka jenis reinforcement yang paling mudah dan ringan adalah pemberian pujian kepada anak. Ketika anak memunculkan tingkah laku yang baik, maka berikanlah pujian seperti “Subhanallah, itu baru anak sholeh” meski hanya berbentuk sepenggal kalimat saja, namun hal itu dapat memberikan efek yang luar biasa kepada anak. Anak menjadi merasa dihargai dan diakui keberadaannya, selain itu anak pun jadi dapat membedakan mana tingkah laku yang baik dan mana tingkah laku yang tidak baik. Satu hal penting yang perlu diperhatikan bagi para mentor ketika memberikan pujian hendaklah sesuai dengan kadarnya, tidak berlebih-lebihan atau pun terkesan mengada-ada. Sebab memberikan pujian yang tidak sesuai dengan kenyataan justru akan menjadi bumerang pada akhirnya. Alih-alih mempertahankan tingkah laku yang baik malah akan menimbulkan efek negative bagi anak. Seperti perasaan terbebani oleh pujian yang berlebihan, merasa terhina dengan pujian yang tidak sesuai dengan kenyataan. Dan berbagai perasaan yang bermuara pada ketidaknyaman anak dalam berinteraksi dengan lingkugan sekitar –terutama para mentor. Jika hal ini sampai terjadi maka anak akan menarik diri dan tidak mau lagi belajar bersama para mentor. Tentulah hal ini penulis harapkan jangan sampai terjadi. Maka dari itulah penulis bermaksud untuk mengingatkan kembali agar para mentor lebih berhati-hati lagi dalam memberikan pujian kepada adik-adik binaan.

Membentuk konsep diri positif pada diri anak jalanan bukanlah merupakan suatu hal yang mudah. Memerlukan kerjasama dari semua pihak terkait, terutama kerjasama di antara para mentor itu sendiri. Dan perlu disadari bahwa hal ini merupakan suatu proses yang memakan waktu yang tidak sebentar. Untuk itulah dituntut perlunya kesabaran dan keistiqomahan hingga tercapai apa yang dicita-citakan selama ini. Yaitu anak jalanan yang memiliki konsep diri yang positif dengan tingkat kepercayaan diri yang tinggi sehingga memacu anak untuk mengembangkan segala potensi yang ada di dalam dirinya serta mengedepankan identitas dirinya sebagai seorang muslim sejati. Semua itu dapat tercapai dengan izin ﷲ SWT.
Wallahu a‘lam bis shawab

Bekasi, 4 Muharram 1427 H[11]RF
[1] QS. Al Hujurat : 10
[2] Chaplin, J.P. penterjemah: Dr. Kartini Kartono, Kamus Lengkap Psikologi, Rajawali Pers, Jakarta, 2005, hal:451
[3] www.athtleticinsight.com
[4] Kathy Hirsh-Pasek, Ph.D., Roberta M. Golinkoff, Ph.D. Einstein Never Used Flash Cards, Penerbit Kaifa, Bandung, 2005
[5] QS. At tiin : 4
[6] Drs. Supartono Widyosiswoyo, ILMU BUDAYA DASAR, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1996
[7] Yusuf al-uqshari, Menjadi Pribadi Yang Berpengaruh, Gema Insani Pers, Jakarta, 2005
[8] Abdul Ghoni Asykur, KUMPULAN HADITS-HADITS PILIHAN BUKHARI MUSLIM –Diambil dari Kitab DALILUL FAALIHIIN, Penerbit Husaini Bandung, 1992
[9] QS Al Fath : 29
[10] Roan, W.M, TERAPI untuk menubah TINGKAH LAKU, Edisi pertama, 1980
[11] Jum’at, 3 Februari 2006